Jumat, 20 November 2009

TAFSIR AL-ISYARI

TAFSIR AL-ISYARI: PENGERTIAN, BENTUK-BENTUK, CONTOH-CONTOH, CORAK-CORAK, PERDEBATAN ULAMA MENGENAI JENIS TAFSIR INI SERTA ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang.

Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.

Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang Tafsir al-Isyari: Pengertian, bentuk-bentuk, contoh-contoh dan corak pemikirannya, perdebatan ulama mengenai jenis ini, serta analisis mengenai kelebihan dan kelemahannya.
BAB II
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir al-Isyari
Di antara kelompok sufi (tasauf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di manan ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.

Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :

1. Shubhi al-Shalih sebagaimana dikutip dalam buku Pengantar Ilmu al-Qur`an dan Tafsir mendefinisikan tafsir al-Isyari adalah :





Artinya: “Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
2. Muhammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an terj. Aminuddin mendefinisikan Tafsir al-Isyari sebagai:4 “Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”



______________________________________________
3 Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992) hal. 489
4 Muhammad Aly Ash-shabuny, studi ilmu al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999),


3. Dalam buku “Spektrum Saintifika al-Qur`an” karya Talhas dan Hasan Basri didefinisikan Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasauf; mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.5

4. Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu.6

Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa AS:



_____________________________________
5Talhas, Hasan Basri, Spektrum Sainfikasi al-Qur’an, (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001),hal 15.
6Tasuf Praktis adalah cara hidup yang sederhanan, zuhud, dan sifat meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah, Ulama aliran ini menemai karya tafsirnya denga Tafsir Isyarat. Lihat. Roshan Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung : Pustaka Setia, 2000), hal. 166.


Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang telah Kami berikan padanya Rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari Kami.” (Q.S. Al-Kahfi (18):65)

Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
Tafsir al-Isyari jika bercampur dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh zahir ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah), maka ia dapat diterima.
Tafsir semacam ini tidak termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan (kasabi atau nazari) yang dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang mendalam tetapi termasuk ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang, sebagaimana firman Allah:






Artinya: “…Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarkanmu, dan Allah yang mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah(2):282)
B. Contoh-contoh Tafsir Al-Isyari

Ada beberapa contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :

1. Manna Khalil Qattan mengemukakan contoh untuk ini adalah riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata : “Umar RA mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dana berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar menjawab, “Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata, “ Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :




Artinya : “ Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. “ (Q.S. Al- Nashr (110):1)

Di antara mereka yang menjawab, “ Kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu `Abbas ? Aku menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.



Artinya : “ Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Itu adalah tanda-tanda tentang (dekatnya) ajalmu (Muhammad).




Artinya : “ Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. “(Q.S. Al-Nashr (110):3)

Umar menjawab, “ Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan “ (Hadist Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat Al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.




2. Misalnya sebuah Hadist yang menyebutkan8bahwa pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai. Di antara khutbahnya tersebut beliau
mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
Dalam kasus diatas sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami arti sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau pemahaman tersebut oleh para sahabat lainnya.

C. Beberapa Persyaratan Tentang Tafsir Al-Isyari

Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni : Tafsirmengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern), tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain.

___________________________________________________________

8Muhammad Aly Ash-Shabuni, Pengantar study Al-Qur’an (At-Tibyan,……,hal.237.


Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :9
1. Tidak bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
2. Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
4. Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsiran tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafal, sebagaimana panafsiran tasauf praktis mengenai firman Allah :




Artinya : “Dan Sulaiman AS telah mewarisi Daud AS....(Q.S. Al-Naml(27):16)
Menurut mereka bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah pewaris Ilmu Nabi SAW.

Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan hidayah menurut jalan yang benar.
________________________________
9Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir,…hal.167. Lihat Muhammad Husen al-Dzahabi, Al-Tafsir wal-Mufassirin, (Mesir : Dar al-Maktub al-Haditsah,1991), hal. 377.
D. Corak-corak Tafsir Al-Isyari

Corak (laun) penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah dikenal sejak turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah SAW. Hal ini diisyaratkan oleh Al-Qur`an. Firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa` ayat :78




Artinya : “......Katakanlah : “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.” (Q.S.Al-Nisa`(4):78).

Dan diberitahukan Nabi SAW kepada para sahabat. Beliau bersabda :


Artinya : “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
Dari sini dapat diketahui bahwa tafsir corak Tasauf Praktis ini, sebagaimana halnya dengan tafsir bi al-Ma`tsur sudah ada sejak dulu, di Zaman Rasulullah. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Di antara kitab-kitab tafsir al-Isyari atau Tasauf Praktis ini adalah:
1. Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (W.283 H)
Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
2. Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi.
Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
3. Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani)
Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
4. Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (w.238 H / 1240 M).
Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
5. Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (w.412 H).
Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
6. Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(w.606 H).


Tafsir ini seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat, meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu jilid besar.

7. Al-Ta`wilatun Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan tafsir ini.
Antara penafsir I dan penerusnya terdapat perbedaan dimana penafsir I kadang-kadang mengemukakan tafsir berdasar zahir ayat, baru setelah itu diteruskan dengan isyarat. Sedangkan penerusnya tidak mengungkap zahir ayat.

E. Perdebatan Ulama Mengenai Tafsir Al-Isyari

Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT

.

Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”11






________________________________
11Lihat.Muhammad Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-ur’an,.. hal. 286.



1. Petikan Beberapa Pendapat Ulama

a. Pendapat al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan.

Imam al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan menyebutkan kata-kata golongan sufi dalam menafsirkan al-Qur`an itu bukanlah berarti tafsir tetapi hanyalah merupakan ilustrasi yang mereka peroleh ketika membaca suatu ayat. Sebagaimana kata-kata mereka tentang firman Allah :



Artinya : “ Perangilah orang-orang kafir disekitarmu itu. “(Q.S. al-Taubah (9):23).
Yang dimaksud adalah “nafsu”. Mereka mengartikan, `illat dari perintah itu adalah untuk memerangi orang yang mengiringi kita karena faktor dekat , sedangkan yang terdekat dengan manusia ialah nafsunya.

b. Pendapat al-Suyuthi dalam al-Itqan

Imam al-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya “al-Itqan” dari pendapat Ibnu `Atha sebagai berikut,14“Ketahuilah bahwa tafsir al-Isyari terhadap Kalam Allah dan Kalam Rasul dengan makna-makna bahasa arab bukanlah berarti suatu pemalingan arti dari zahirnya, tetapi dari zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya seperti juga dapat diketahui dari istilah bahasa serta pengertian yang terseirat didalamnya.”
Tidak ada halangan bagi anda untuk menerima arti semacam ini dari mereka bila ahli diskusi mengatakan, “Ini adalah salah satu bentuk dari penyelewengan Kalamullah dan Sabda Rasulullah. Padahal bukan penyelewengan, kecuali bila mereka mengatakan, “ Ayat ini artinya hanya begini.....sedang mereka sendiri tidak mengemukakan demikian, melainkan hanya sekedar menetapkan arti zahir ayat. Mereka hanya memahami yang diilhamkan dari Allah.

c. Pendapat Imam al-al-Nasafi dan Taftazani

Al-nasafi dalam kitabnya, “Al-`Aqaid mengemukakan,14 “ Nash-nash itu harus berdasarkan lahirnya, maka mengalihkan nash pada arti lain yang dilakukan oleh kelompok kebatinan merupakan penyelewengan.”
Al-Taftazani dalam kitabnya “Syarah `Aqaid” mengemukakan : “Bahwa golongan atheis identik dengan aliran kebatinan karena mereka menganggap bahwasannya nash-nash itu pengertiannya tidak menurut yang lahir tetapi nash-nash itu mempunyai pengertian-pengertian yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh sang guru. Maksud mereka dengan kata-kata ini untuk menghilangkan syari`at secara total”. Selanjutya ia mengatakan : “Adapun pendapat yang diikuti oleh ahli tahqiq yang mengatakan bahwa nash-nash itu harus diartikan menurut lahirnya, yang dibalik itu ada isyarat-isyarat yang tersembunyi yang menunjukkan arti yang halus yang hanya dipahami oleh orang yang berprilaku baik, yang dapat menggabungkan arti tersirat dan tersurat, hal itu merupakan sifat kesempurnaan iman dan kemurnian makrifat.”


_______________________________

14 Muhammad Ali Al-Shabuni, Study Ilmu Al-Qur`an,…hal.289.
Pernyataan al-Nasafi di atas menunjukkan bahwa tafsir al-Isyari termasuk dalam kelompok aliran kebathinan dan menyatakan aliran ini merupakan penyelewengan dari ajaran Allah. Sementara al-Taftazani memperincikan pembahasan tersebut dan membantah aliran kebatinan karena kesesatan meraka. Ia membenarkan cara-cara yang dilakukan oleh kalangan orang yang berprilaku luhur dalam mengambil arti dan isyarat-isyarat yang tersirat. Dan ia mengatakannya sebagai langkah kesempurnaan iman dan makrifat.

d. Muhammad Husein al-Zahabi

Muhammad Husein al-Zahabi dalam kitabnya “al-Ittijahatul Munharifah fi Tafsiril Qur`anil `adhim, Dwafi`uha wa daf`uha” menyatakan, 15Bila kita menelaah kitab-kitab tafsir kaum sufi, baik tafsir teoritis (Tafsir Nadhari), maupun Tafsir Simbolis (Isyari) atau limpahan (Faidhi), kita temukan didalamnya penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur`an itu. Tafsir sufi Nadhari pada umumnya menyimpangkan makna Al-Quran dari maksud dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Qur`an dengan nash-nash dan ayat-ayatnya mempunyai meksud-maksud tertentu, tetapi orang-orang sufi menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain sesuai dengan pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka.
Sebagai contoh bisa dikemukakan bahwa ibnu `Arabi, cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an sejalan dengan faham “Widhatul Wujud” (Panteisme), demikian juga Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj dan lain-lainnya.


__________________________
15Muhammad Husein al-Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas dan Machnun husein,(Jakarta : Rajawali,1991), hal. 92-93
Sebagaimana disebutkan dalam buku ibnu `Arabi “Futuhatul Makkiyah, Nushuhul Hukmi” dan juga kitab tafsirnya, mengenai firman Allah dalam surat al-Isra`:23 yang berbunyi :



Artinya : “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah siapapun kecuali dia. “(Q.S.Al-Isra`(17):23).

Ibnu `Arabi mengatakan, “Para Ulama yang cenderung melihat pernyataan tertulis dalam Al-Qur`an memberikan arti lafal “qadha” dengan “memerintahkan”, tetapi saya mengartikannya dengan “memutuskan untuk membuka” dan inilah arti yang sebenarnya, karena orang-orang musyrik berkeyakinan bahwa sebenarnya mereka menyembah patung-patung sesembahan tersebut justru untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

e. Pendapat Imam al-Zarqani

Pendapat Syeikh Muhammad Abdul `Azim al-Zarqani mengenai tafsir Isyari. Ia mengemukakan 16 ‘’ Harapan kami semoga anda memperhatikan bersama-samaku bahwa sebagai orang telah terpedaya untuk dihadapkan mempelajari isyarat dan bathin (Kepercayaan dan kebatinan), mencantumkan pendapatnya dan menganggap al-Qur`an dan al-Sunnah, bahkan Islam secara keseluruhan itu hanya bersifat alternatif dan barang impor sebagaimana halnya takwil dan pandangan. Mereka menduga bahwa urusan ini merupakan khayalan. Yang dikehendaki mereka adalah
___________________
16 Muhammad Ali Al-Shabuni, Study Ilmu Al-Qur`an,…hal.289.


mimpi dan khayal. Mereka tidak mau mengikat diri dengan syari`at. Mereka tidak mau memperhatikan ketentuan-ketentuan bahasa arab dalam memahami nash-nash bahasa Arab yang tegas, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul.
f. Kata-kata Hujjatul Islam al-Ghajali
Hujjatul Islam al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya` `Ulumuddin”17pada pasal zikir dan tazkir, berkata, “ Syatan (ilusi) mengandung dua pengertian, yang biasa dikemukakan oleh sufi :
Pertama, Do`a panjang yang timbul akibat kerinduan kepada Allah dan berhubungan dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang lahir menyebabkan ia menjadi bersatu dengan perbuatan tersebut serta menghilangkan tabir antara dirinya dengan perbuatan tersebut. Selanjutnya mereka mengatakan, “ Kita ditanya tentang ini dan kami pun menjawab. “Mereka menyerupakan al-Hallaj dengan Husain (cucu Nabi SAW), ketika di mana al-Hallaj disalib karena mengucapkan “Ana al-Haq” (saya al-Haq). Bentuk ucapan ini sangat berbahaya bagi kalangan awam, sehingga orang yang mengucapkannya, menurut agama Allah lebih baik dibunuh daripada memelihara sepuluh orang seperti mereka.
Kedua, Yang dimaksud dengan Syatbah adalah kata-kata yang tidak dimengerti, mempunyai arti lahir yang indah, serta mengandung ibarat yang membingungkan. Kata-kata tersebut tidak mengadung kesan dan tidak mempunyai faedah, kecuali hanya membingungkan dan mengacaukan



_______________________________

17 Muhammad Ali Al-Shabuni, Study Ilmu Al-Qur`an,…hal.295-296.

pemikiran seseorang. Ali Karamallah Wajhah mengatakan, “Ajaklah orang-orang berbicara dengan bahasa yang dimengerti mereka. Apakah kalian mau dituduh dusta oleh Allah dan Rasul-Nya ?
Selanjunya, al-Ghazali mengatakan, “Pengertian taat ini termasuk dalam pengertian Syatah dan arti lain yang dikhususkan, yaitu pemutarbalikan lafal syara` dari arti lain yang dikhususkan, yang bersifat batin dan tidak memberikan faedah pemahaman dan merupakan hal yang haram, serta menimbulkan bahaya besar.
Di antara contoh ta`wil golongan yang fasid ialah pendapat mereka tentang tafsir firman Allah SWT :



Artinya : “Pergilah kamu kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (Q.S. al-Nazi`at (79):17).

Pengertiannya adalah isyarat di dalam hatinya, ia mengatakan “Itulah pengertian dari kata Fir`aun” yaitu orang yang jahat pada semua orang. Dan dalam Firman Allah :


Artinya : “Dan hendaknya engkau lempar tongkatmu,” (Q.S. al-`Araf (7):117).
Maksudnya setiap apa saja yang dijadikan pegangan dan pedoman selain dari Allah `Azza wa Jalla mesti dilempar.



Dalam tafsiran hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda :18



Artinya : “Bersahurlah anda sekalian karena dalam bersahur itu ada barakah.....”
Mereka menafsirkan sahur dengan istighfar pada waktu sahur.

Penafsiran semacam ini jelas tidak benar, sebagaimana menafsirkan Fir`aun dengan hati karena Fir`aun adalah seorang yang didengar mutawatir penukilan wujudnya.
Golongan ahli Thammah (perusak) yang membolehkan penafsiran semacam ini padahal ia mengerti bahwa itu tidak sesuai dengan lafal berarti sama dengan orang yang mengada-adakan dan mendustakan Rasul SAW sebagaimana orang-orang yang membuat-buat hadist dalam suatu masalah yang dihadapi, dengan disandarkan kepada Nabi SAW. Itu merupakan kezaliman dan kesesatan serta termasuk dalam ancaman “Siapa yang mendustakanku dengan sengaja maka bersedialah tempatnya di neraka.....”
Bahkan lebih jelek dari itu karena ia merusak keutuhan lafaz serta memalsukan pemahaman Al-Qur`an secara keseluruhan.” Demikian pendapat al-Ghazali.19



________________________________
18Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, (Beiut : Dar al-Fikr, 1983), hal. 385.
19Muhammad Ali al-Sabuni, Studi Ilmu tafsir… hal.297



F. Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari

1. Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari

Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
a. Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
b. Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
c. Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
d. Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
e. Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.

2. Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
a. Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
b. Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
c. Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.
d. Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”


DAFTAR PUSTAKA

St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, Semarang : Asy-Syifa`, 1994.

Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1992.

Muhammad Aly Ash-Shabuny, Studi Ilmu Al-Qur`an, Bandung : Pustaka Setia, 1999.

Talhas, Hasan Basri, Spektrum Saintifika al-Qur`an, Jakarta : Bale Kajian Tafsir al-Qur`an Pase, 2001.

Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2000.

Muhammad Hausen al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir : Dar al-Maktub al-Haditsah, 1991.

Ali Hasan al-`Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom, Jakarta : Rajawali, 1992

Muhammad Husein al-Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an, Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta : Rajawali, 1991.

Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut : Dar al-Fikr, 1983.

1 komentar:

  1. makasih udah posting.... buat tambahan referensi hehehe........

    BalasHapus