Jumat, 20 November 2009

TAFSIR AL-ISYARI

TAFSIR AL-ISYARI: PENGERTIAN, BENTUK-BENTUK, CONTOH-CONTOH, CORAK-CORAK, PERDEBATAN ULAMA MENGENAI JENIS TAFSIR INI SERTA ANALISIS KELEBIHAN DAN KELEMAHANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang.

Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.

Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang Tafsir al-Isyari: Pengertian, bentuk-bentuk, contoh-contoh dan corak pemikirannya, perdebatan ulama mengenai jenis ini, serta analisis mengenai kelebihan dan kelemahannya.
BAB II
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir al-Isyari
Di antara kelompok sufi (tasauf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di manan ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.

Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :

1. Shubhi al-Shalih sebagaimana dikutip dalam buku Pengantar Ilmu al-Qur`an dan Tafsir mendefinisikan tafsir al-Isyari adalah :





Artinya: “Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
2. Muhammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an terj. Aminuddin mendefinisikan Tafsir al-Isyari sebagai:4 “Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”



______________________________________________
3 Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992) hal. 489
4 Muhammad Aly Ash-shabuny, studi ilmu al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999),


3. Dalam buku “Spektrum Saintifika al-Qur`an” karya Talhas dan Hasan Basri didefinisikan Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasauf; mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.5

4. Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu.6

Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa AS:



_____________________________________
5Talhas, Hasan Basri, Spektrum Sainfikasi al-Qur’an, (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001),hal 15.
6Tasuf Praktis adalah cara hidup yang sederhanan, zuhud, dan sifat meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah, Ulama aliran ini menemai karya tafsirnya denga Tafsir Isyarat. Lihat. Roshan Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung : Pustaka Setia, 2000), hal. 166.


Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang telah Kami berikan padanya Rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari Kami.” (Q.S. Al-Kahfi (18):65)

Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
Tafsir al-Isyari jika bercampur dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh zahir ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah), maka ia dapat diterima.
Tafsir semacam ini tidak termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan (kasabi atau nazari) yang dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang mendalam tetapi termasuk ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang, sebagaimana firman Allah:






Artinya: “…Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarkanmu, dan Allah yang mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah(2):282)
B. Contoh-contoh Tafsir Al-Isyari

Ada beberapa contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :

1. Manna Khalil Qattan mengemukakan contoh untuk ini adalah riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata : “Umar RA mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dana berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar menjawab, “Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata, “ Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :




Artinya : “ Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. “ (Q.S. Al- Nashr (110):1)

Di antara mereka yang menjawab, “ Kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu `Abbas ? Aku menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.



Artinya : “ Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Itu adalah tanda-tanda tentang (dekatnya) ajalmu (Muhammad).




Artinya : “ Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. “(Q.S. Al-Nashr (110):3)

Umar menjawab, “ Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan “ (Hadist Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat Al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.




2. Misalnya sebuah Hadist yang menyebutkan8bahwa pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai. Di antara khutbahnya tersebut beliau
mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
Dalam kasus diatas sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami arti sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau pemahaman tersebut oleh para sahabat lainnya.

C. Beberapa Persyaratan Tentang Tafsir Al-Isyari

Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni : Tafsirmengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern), tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain.

___________________________________________________________

8Muhammad Aly Ash-Shabuni, Pengantar study Al-Qur’an (At-Tibyan,……,hal.237.


Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :9
1. Tidak bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
2. Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
4. Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsiran tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafal, sebagaimana panafsiran tasauf praktis mengenai firman Allah :




Artinya : “Dan Sulaiman AS telah mewarisi Daud AS....(Q.S. Al-Naml(27):16)
Menurut mereka bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah pewaris Ilmu Nabi SAW.

Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan hidayah menurut jalan yang benar.
________________________________
9Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir,…hal.167. Lihat Muhammad Husen al-Dzahabi, Al-Tafsir wal-Mufassirin, (Mesir : Dar al-Maktub al-Haditsah,1991), hal. 377.
D. Corak-corak Tafsir Al-Isyari

Corak (laun) penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah dikenal sejak turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah SAW. Hal ini diisyaratkan oleh Al-Qur`an. Firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa` ayat :78




Artinya : “......Katakanlah : “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.” (Q.S.Al-Nisa`(4):78).

Dan diberitahukan Nabi SAW kepada para sahabat. Beliau bersabda :


Artinya : “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
Dari sini dapat diketahui bahwa tafsir corak Tasauf Praktis ini, sebagaimana halnya dengan tafsir bi al-Ma`tsur sudah ada sejak dulu, di Zaman Rasulullah. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Di antara kitab-kitab tafsir al-Isyari atau Tasauf Praktis ini adalah:
1. Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (W.283 H)
Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
2. Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi.
Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
3. Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani)
Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
4. Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (w.238 H / 1240 M).
Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
5. Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (w.412 H).
Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
6. Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(w.606 H).


Tafsir ini seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat, meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu jilid besar.

7. Al-Ta`wilatun Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan tafsir ini.
Antara penafsir I dan penerusnya terdapat perbedaan dimana penafsir I kadang-kadang mengemukakan tafsir berdasar zahir ayat, baru setelah itu diteruskan dengan isyarat. Sedangkan penerusnya tidak mengungkap zahir ayat.

E. Perdebatan Ulama Mengenai Tafsir Al-Isyari

Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT

.

Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”11






________________________________
11Lihat.Muhammad Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-ur’an,.. hal. 286.



1. Petikan Beberapa Pendapat Ulama

a. Pendapat al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan.

Imam al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan menyebutkan kata-kata golongan sufi dalam menafsirkan al-Qur`an itu bukanlah berarti tafsir tetapi hanyalah merupakan ilustrasi yang mereka peroleh ketika membaca suatu ayat. Sebagaimana kata-kata mereka tentang firman Allah :



Artinya : “ Perangilah orang-orang kafir disekitarmu itu. “(Q.S. al-Taubah (9):23).
Yang dimaksud adalah “nafsu”. Mereka mengartikan, `illat dari perintah itu adalah untuk memerangi orang yang mengiringi kita karena faktor dekat , sedangkan yang terdekat dengan manusia ialah nafsunya.

b. Pendapat al-Suyuthi dalam al-Itqan

Imam al-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya “al-Itqan” dari pendapat Ibnu `Atha sebagai berikut,14“Ketahuilah bahwa tafsir al-Isyari terhadap Kalam Allah dan Kalam Rasul dengan makna-makna bahasa arab bukanlah berarti suatu pemalingan arti dari zahirnya, tetapi dari zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya seperti juga dapat diketahui dari istilah bahasa serta pengertian yang terseirat didalamnya.”
Tidak ada halangan bagi anda untuk menerima arti semacam ini dari mereka bila ahli diskusi mengatakan, “Ini adalah salah satu bentuk dari penyelewengan Kalamullah dan Sabda Rasulullah. Padahal bukan penyelewengan, kecuali bila mereka mengatakan, “ Ayat ini artinya hanya begini.....sedang mereka sendiri tidak mengemukakan demikian, melainkan hanya sekedar menetapkan arti zahir ayat. Mereka hanya memahami yang diilhamkan dari Allah.

c. Pendapat Imam al-al-Nasafi dan Taftazani

Al-nasafi dalam kitabnya, “Al-`Aqaid mengemukakan,14 “ Nash-nash itu harus berdasarkan lahirnya, maka mengalihkan nash pada arti lain yang dilakukan oleh kelompok kebatinan merupakan penyelewengan.”
Al-Taftazani dalam kitabnya “Syarah `Aqaid” mengemukakan : “Bahwa golongan atheis identik dengan aliran kebatinan karena mereka menganggap bahwasannya nash-nash itu pengertiannya tidak menurut yang lahir tetapi nash-nash itu mempunyai pengertian-pengertian yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh sang guru. Maksud mereka dengan kata-kata ini untuk menghilangkan syari`at secara total”. Selanjutya ia mengatakan : “Adapun pendapat yang diikuti oleh ahli tahqiq yang mengatakan bahwa nash-nash itu harus diartikan menurut lahirnya, yang dibalik itu ada isyarat-isyarat yang tersembunyi yang menunjukkan arti yang halus yang hanya dipahami oleh orang yang berprilaku baik, yang dapat menggabungkan arti tersirat dan tersurat, hal itu merupakan sifat kesempurnaan iman dan kemurnian makrifat.”


_______________________________

14 Muhammad Ali Al-Shabuni, Study Ilmu Al-Qur`an,…hal.289.
Pernyataan al-Nasafi di atas menunjukkan bahwa tafsir al-Isyari termasuk dalam kelompok aliran kebathinan dan menyatakan aliran ini merupakan penyelewengan dari ajaran Allah. Sementara al-Taftazani memperincikan pembahasan tersebut dan membantah aliran kebatinan karena kesesatan meraka. Ia membenarkan cara-cara yang dilakukan oleh kalangan orang yang berprilaku luhur dalam mengambil arti dan isyarat-isyarat yang tersirat. Dan ia mengatakannya sebagai langkah kesempurnaan iman dan makrifat.

d. Muhammad Husein al-Zahabi

Muhammad Husein al-Zahabi dalam kitabnya “al-Ittijahatul Munharifah fi Tafsiril Qur`anil `adhim, Dwafi`uha wa daf`uha” menyatakan, 15Bila kita menelaah kitab-kitab tafsir kaum sufi, baik tafsir teoritis (Tafsir Nadhari), maupun Tafsir Simbolis (Isyari) atau limpahan (Faidhi), kita temukan didalamnya penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur`an itu. Tafsir sufi Nadhari pada umumnya menyimpangkan makna Al-Quran dari maksud dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Qur`an dengan nash-nash dan ayat-ayatnya mempunyai meksud-maksud tertentu, tetapi orang-orang sufi menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain sesuai dengan pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka.
Sebagai contoh bisa dikemukakan bahwa ibnu `Arabi, cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an sejalan dengan faham “Widhatul Wujud” (Panteisme), demikian juga Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj dan lain-lainnya.


__________________________
15Muhammad Husein al-Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas dan Machnun husein,(Jakarta : Rajawali,1991), hal. 92-93
Sebagaimana disebutkan dalam buku ibnu `Arabi “Futuhatul Makkiyah, Nushuhul Hukmi” dan juga kitab tafsirnya, mengenai firman Allah dalam surat al-Isra`:23 yang berbunyi :



Artinya : “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah siapapun kecuali dia. “(Q.S.Al-Isra`(17):23).

Ibnu `Arabi mengatakan, “Para Ulama yang cenderung melihat pernyataan tertulis dalam Al-Qur`an memberikan arti lafal “qadha” dengan “memerintahkan”, tetapi saya mengartikannya dengan “memutuskan untuk membuka” dan inilah arti yang sebenarnya, karena orang-orang musyrik berkeyakinan bahwa sebenarnya mereka menyembah patung-patung sesembahan tersebut justru untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

e. Pendapat Imam al-Zarqani

Pendapat Syeikh Muhammad Abdul `Azim al-Zarqani mengenai tafsir Isyari. Ia mengemukakan 16 ‘’ Harapan kami semoga anda memperhatikan bersama-samaku bahwa sebagai orang telah terpedaya untuk dihadapkan mempelajari isyarat dan bathin (Kepercayaan dan kebatinan), mencantumkan pendapatnya dan menganggap al-Qur`an dan al-Sunnah, bahkan Islam secara keseluruhan itu hanya bersifat alternatif dan barang impor sebagaimana halnya takwil dan pandangan. Mereka menduga bahwa urusan ini merupakan khayalan. Yang dikehendaki mereka adalah
___________________
16 Muhammad Ali Al-Shabuni, Study Ilmu Al-Qur`an,…hal.289.


mimpi dan khayal. Mereka tidak mau mengikat diri dengan syari`at. Mereka tidak mau memperhatikan ketentuan-ketentuan bahasa arab dalam memahami nash-nash bahasa Arab yang tegas, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul.
f. Kata-kata Hujjatul Islam al-Ghajali
Hujjatul Islam al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya` `Ulumuddin”17pada pasal zikir dan tazkir, berkata, “ Syatan (ilusi) mengandung dua pengertian, yang biasa dikemukakan oleh sufi :
Pertama, Do`a panjang yang timbul akibat kerinduan kepada Allah dan berhubungan dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang lahir menyebabkan ia menjadi bersatu dengan perbuatan tersebut serta menghilangkan tabir antara dirinya dengan perbuatan tersebut. Selanjutnya mereka mengatakan, “ Kita ditanya tentang ini dan kami pun menjawab. “Mereka menyerupakan al-Hallaj dengan Husain (cucu Nabi SAW), ketika di mana al-Hallaj disalib karena mengucapkan “Ana al-Haq” (saya al-Haq). Bentuk ucapan ini sangat berbahaya bagi kalangan awam, sehingga orang yang mengucapkannya, menurut agama Allah lebih baik dibunuh daripada memelihara sepuluh orang seperti mereka.
Kedua, Yang dimaksud dengan Syatbah adalah kata-kata yang tidak dimengerti, mempunyai arti lahir yang indah, serta mengandung ibarat yang membingungkan. Kata-kata tersebut tidak mengadung kesan dan tidak mempunyai faedah, kecuali hanya membingungkan dan mengacaukan



_______________________________

17 Muhammad Ali Al-Shabuni, Study Ilmu Al-Qur`an,…hal.295-296.

pemikiran seseorang. Ali Karamallah Wajhah mengatakan, “Ajaklah orang-orang berbicara dengan bahasa yang dimengerti mereka. Apakah kalian mau dituduh dusta oleh Allah dan Rasul-Nya ?
Selanjunya, al-Ghazali mengatakan, “Pengertian taat ini termasuk dalam pengertian Syatah dan arti lain yang dikhususkan, yaitu pemutarbalikan lafal syara` dari arti lain yang dikhususkan, yang bersifat batin dan tidak memberikan faedah pemahaman dan merupakan hal yang haram, serta menimbulkan bahaya besar.
Di antara contoh ta`wil golongan yang fasid ialah pendapat mereka tentang tafsir firman Allah SWT :



Artinya : “Pergilah kamu kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (Q.S. al-Nazi`at (79):17).

Pengertiannya adalah isyarat di dalam hatinya, ia mengatakan “Itulah pengertian dari kata Fir`aun” yaitu orang yang jahat pada semua orang. Dan dalam Firman Allah :


Artinya : “Dan hendaknya engkau lempar tongkatmu,” (Q.S. al-`Araf (7):117).
Maksudnya setiap apa saja yang dijadikan pegangan dan pedoman selain dari Allah `Azza wa Jalla mesti dilempar.



Dalam tafsiran hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda :18



Artinya : “Bersahurlah anda sekalian karena dalam bersahur itu ada barakah.....”
Mereka menafsirkan sahur dengan istighfar pada waktu sahur.

Penafsiran semacam ini jelas tidak benar, sebagaimana menafsirkan Fir`aun dengan hati karena Fir`aun adalah seorang yang didengar mutawatir penukilan wujudnya.
Golongan ahli Thammah (perusak) yang membolehkan penafsiran semacam ini padahal ia mengerti bahwa itu tidak sesuai dengan lafal berarti sama dengan orang yang mengada-adakan dan mendustakan Rasul SAW sebagaimana orang-orang yang membuat-buat hadist dalam suatu masalah yang dihadapi, dengan disandarkan kepada Nabi SAW. Itu merupakan kezaliman dan kesesatan serta termasuk dalam ancaman “Siapa yang mendustakanku dengan sengaja maka bersedialah tempatnya di neraka.....”
Bahkan lebih jelek dari itu karena ia merusak keutuhan lafaz serta memalsukan pemahaman Al-Qur`an secara keseluruhan.” Demikian pendapat al-Ghazali.19



________________________________
18Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, (Beiut : Dar al-Fikr, 1983), hal. 385.
19Muhammad Ali al-Sabuni, Studi Ilmu tafsir… hal.297



F. Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari

1. Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari

Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
a. Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
b. Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
c. Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
d. Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
e. Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.

2. Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
a. Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
b. Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
c. Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.
d. Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”


DAFTAR PUSTAKA

St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, Semarang : Asy-Syifa`, 1994.

Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1992.

Muhammad Aly Ash-Shabuny, Studi Ilmu Al-Qur`an, Bandung : Pustaka Setia, 1999.

Talhas, Hasan Basri, Spektrum Saintifika al-Qur`an, Jakarta : Bale Kajian Tafsir al-Qur`an Pase, 2001.

Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2000.

Muhammad Hausen al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir : Dar al-Maktub al-Haditsah, 1991.

Ali Hasan al-`Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom, Jakarta : Rajawali, 1992

Muhammad Husein al-Zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an, Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta : Rajawali, 1991.

Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut : Dar al-Fikr, 1983.

TAFSIR AL-KHAZIN:


TAFSIR AL-KHAZIN: LATAR BELAKANG INTELEKTUAL PENULIS TAFSIR, METODE YANG DIGUNAKAN, CORAK PENAFSIRANNYA, CONTOH AYAT YANG DITAFSIRKAN, PANDANGAN ULAMA TERHADAP TAFSIR, ANALISIS KELEMAHAN DAN KELEBIHAN
Oleh: H. M. Idris. T, SE


I. PENDAHULUAN

Menafsirkan Al-Qur`an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur`an . Oleh karena objek tafsir adalah al-Qur`an, di mana ia merupakan sumber pertama dan paling utama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran terhadap al-Qur`an bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu merupakan suatu keharusan dan kewajiban bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan itu.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa penafsiran terhadap al-Qur`an telah ditemukan, tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan kandungannya tidak bisa difahami sendiri oleh para sahabat, kecuali merujuk kepada Rasulullah SAW.Hanya saja, kebutuhan terhadap penafsiran al-Qur`an ketika itu tidak sebesar pada masa-masa berikutnya.
Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur`an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir al-Qur`an, maka tafsir al-Qur`an terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf, sampai sekarang. Bahwa banyak di antara ulama tafsir, karena latar belakang dan tujuan tertentu, yang memberi perhatian khusus pada segi-segi tertentu dari kandungan al-Qur`an. Dari sini lahirlah berbagai macam tafsir berdasarkan sumber yakni tafsir bi al-Ma`tsur dan tafsir bi al-Riwayah, dan metode tafsirnya, misalnya metode tahlili, ijmali, dan lain-lain.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas, maka dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang: “Tafsir al-Khazin: latar belakang intelektual penulis, metode yang digunakan, corak penafsirannya, contoh ayat yang ditafsirkan, pandangan ulama terhadap tafsir, analisis kelemahan dan kelebihan”.
I. Latar Belakang Intelektual Penulis

Khazin, pengarang tafsir ini adalah Alauddin, Abdul Hasan, Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Amr bin Khalilis –Syaihi, dinisbahkan kepada Syaibah, tukang pemeras susu, al-Baghdadi al-Syafi`i, terkenal dengan Khazin. Termasyur dengan nama itu, karena ia adalah penjaga (khazin) kitab-kitab yang berada di percetakan atau perpustakaan Khaniqah al-Samiitathiyah, di Damaskus. Ia dilahirkan di Baghdad tahun 678 H, wafat di Halb tahun 741 H. . Dalam buku “Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an” karya Muhammad Amin Suma disebutkan bahwa “`Ala al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bahgdadi yang lebih masyhur dengan panggilan al-Khazin (544-604 H / 1149-1207 M).” Terdapat selisih tahun kelahiran dan tahun wafat al-Khazin. Sementara dalam “Suplemen Ensiklopedia Islam Juz II” disebutkan bahwa wafat Imam Abdullah bin Muhammad yang terkenal dengan nama al-Khazin yaitu Tahun 741 H.
Dia dijuluki al-Khazin (yang berarti penjaga) karena tugasnya itu. Orang yang bekerja di perpustakaan dan mempunyai minat besar terhadap tafsir sudah barang tentu banyak membaca kitab-kitab tafsir yang ada dalam tanggung jawabnya. Dia mengagumi beberapa kitab tafsir dan berusaha menulis tafsirannya sendiri. Di samping itu ia dikenal sebagai tokoh sufi (mutasawwif), selain sebagai juru dakwah
Tafsir al-Khazin lebih populer dengan nama Lubab al-Ta`wil fi Ma`ani al-Tanzil (pilihan penakwilan tentang makna-makna al-Qur`an). Tafsir ini terdiri atas 4 (empat) jilid. Dengan tebal halaman antara 2160-2250.
II. METODE TAFSIR AL-KHAZIN
A. Macam-macam Tafsir Berdasarkan Metodenya
Mengingat al-Qur`an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan betapa perhatian para ulama untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan al-Qur`an dan menerjemahkan misi-misinya.
Studi atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum, menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran berikut ini:
1. Metode Tahlili (Analitis)
2. Metode Ijmaly (global)
3. Metode Muqaran (Perbandingan)
4. Metode Maudhu`I (Tematik)
1. Metode Tahlili (Analitis)
Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-Munasabat) dengan bantuan asbab an-Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan Tabi`in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushhaf, yat per ayat, dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi`in, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Qur`an yang mulia.
Para ulama membagi wujud tafsir al-Qur`an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, sebagai berikut:
a. Tafsir bi al-Ma`tsur (al-Riwayat)
b. Tafsir bi al-Ra`yi
c. Tafsir Shufy
d. Tafsir Fiqhy
e. Tafsir Falsafy
f. Tafsir `Ilmy
g. Tafsir Adaby
a. Tafsir bi al-Ma`tsur
Tafsir bi al-Ma`tsur yaitu penafsiran ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang lain atau dengan al-Sunnah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan corak bi al-Ma`tsur adalah:
1). Jami` al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an, karya al-Thabari (w. 310 H).
2). Ma`alim al-Tanzil, karya al-Baghwi (w. 516).
3). Tafsir al-Qur`an al-`Azim, karya Ibnu Katsir (w. 774 H).
4). Al-Dur al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma`tsur, karya al-Suyuthi (w. 911 H).
b. Tafsir bi al-Ra`yi (Berdasarkan Ijtihad)
Tafsir bi al-Ra`yi adalah menafsirkan al-Qur`an dengan ijtihad setelah mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya. Di antara karya tafsir bi al-Ra`yi adalah:
1). Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H).
2). Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta`wil, karya al-Baidhawi (w. 691 H).
3). Madarik al-Tanzil wa Haqa`iq al-Takwil, karya al-Nasafi (w. 701 H).
4). Lubab al-Ta`wil fi Ma`ani al-Tanzil, karya `Ala al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bahgdadi atau lebih populer dengan panggilan al-Khazin (w. 741 H).
5) Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an wa Sab`u al-Matsani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy (w. 1270 H)
c. Tafsir Shufy
Sebagai dampak kemajuan ilmu dan peradaban Islam, muncullah ilmu tasauf. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat dua aliran tasauf yang turut mewarnai diskursus penafsiran al-Qur`an, yaitu aliran tasauf teoretis dan aliran tasauf praktis.
1). Aliran Tasauf Teoritis
Tafsir aliran tasauf teoretis adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur`an disesuaikan dengan teori-teori tasaufnya. Penafsirannya tidak mengikuti cara-cara untuk menakwilkan al-Qur`an dan penjelasannya menyimpang dari tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar`i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab. Kitab-kitab tafsir yang tergolong ke dalam penafsiran ini antara lain: al-Futuhat al-Makkiyah dan al-Fushush keduanya merupakan buah karya Ibnu `Arabi (w. 238 H).


2). Aliran Tasauf Praktis
Tasauf Praktis maksudnya adalah cara hidup berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini menamai karya tafsirnya dengan tafsir Isyarat, yakni menakwilkan al-Qur`an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungna tekstulnya, yaitu berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah).
Di antara kitab-kitab tafsir jenis ini adalah:
a) Tafsir al-Qur`an al-`Azim, karya Imam al-Tusturi (w. 283 H)
b) Haqa`iq al-Tafsir, karya al-`Allamah al-Sulami (w. 412 H)
c) Arais al-Bayan fi Haqa`iq al-Qur`an, karya Imam al-Syirazi (w. 606 H).
d. Tafsir Fiqhy
Dari tafsir bi al-Ma`tsur lahirlah tafsir Fiqhi. Keduanya dinukilkan secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan. Tatkala para sahabat menemukan kemusykilan tentang ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an, mereka langsung bertanya kepada Nabi SAW. Jawaban Nabi dikategorikan sebagai tafsir bi al-Ma`tsur dan sebagai tafsir al-Fiqhy. Di antara kitab-kitab tafsir fiqhy adalah:
1) Ahkam al-Qur`an, karangan al-Jashash (w. 370 H).
2) Ahkam al-Qur`an, karangan Ibn al-`Araby (w. 543 H).
3) Al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, karangan Imam al-Qurtubi (w. 671 H)
e. Tafsir Falsafy
Tafsir Falsafy adalah penafsiran al-Qur`an dengan memakai pemikiran-pemikiran filsafat. Dalam menyikapi hal ini, umat Islam terbagi dalam dua golongan, yaitu:
1) Golongan Pertama, menolak ilmu-ilmu atau tafsir yang bersumber dari kitab-kitab karangan para filosof karena dianggap bertentangan dengan akidah dan agama. Di antara mereka adalah Imam al-Ghazali (w. 505 H) dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah, dan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H) dengan kitabnya Mafatih al-Ghaib.
2) Golongan Kedua, justru mengagumi filsafat sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan, tetapi gagal. Sebab, tidak mungkin nash al-Qur``an mengandung teori-teori filsafat. Menurut al-Zahabi, tidak pernah seorang filosof mengarang kitab tafsir yang lengkap, melainkan karangan mereka yang terpencar-pencar dalam kitab-kitab filsafat.





f.Tafsir `Ilmy
Tafsir `Ilmy adalah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dengan bertolak dari proporsi pokok bahasa, kapaitas keilmuan yang dimiliki, dan hasil pengamatan langsung fenomena-fenomena alam. Di antara ulama tafsir yang memperdalam tafsir `ilmy adalah:
1) Imam Fakhr al-Razi dalam Tafsir al-Kabir
2) Imam al-Gazali dalam Ihya` `Ulum al-Din dan Jawahir al-Qur`an
3) Imam al-Suyuthi dalam al-Itqan
g. Tafsir Adaby.
Tafsir adaby adalah penafsiran yang berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qur`an dan mukjizat-mukjizatnya; menjelaskan makna dan maksudnya; memperlihatkan aturan-aturan al-Qur`an tentang kemasyarakatan; dan mengatasi persoalan yang dihadapi secara khusus umat Islam dan permasalahan umat lainnya secara umum. Di antar kitab tafsir yang membahas masalah tersebut adalah:
1). Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1354 H)
2) Tafsir al-Maraghi, karya al-Maraghi (w. 1945 H)
3) Tafsir al-Qur`an al-Karim, karya Syech Muhammad Syaltut


2. Metode Ijmaly (Global)
Metode Ijmali yaitu penafsiran al-Qur`an secara global, yakni ,mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur`an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
a. Tafsir al-Jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahally
b. Tafsir al-Qur`an al-`Azim, karya Muhammad Farij Wajdi
c. Shafwah al-Bayan li Ma`any al-Qur`an, karya Syekh Husanain Muhammad Makhlut
d. Al-Tafsir al-Muyassar, karya Syekh `Abd al-Jalil Isa
e. Al-Tafsir al-Wasith, diterbitkan oleh Majma` al-Buhuts al-Islamiyah.
3. Metode Muqaran (Perbandingan / Komparasi)
Yang dimaksud dengan metode muqaran atau metode komparasi adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Mufassir yang menempuh metode ini, seperti misalnya al-Khatib al-Iskafi dalam kitabnya Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta`wil.

4. Metode Maudhu`i (Tematik)
Metode maudhu`i atau disebut juga metode tematik, yaitu penafsiran al-Qur`an didasarkan pada tema atau topik tertentu. Mufassir mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu tema atau persoalan. Kemudian pokok tema tersebut dihubungkan dengan ayat-ayat senada yang terdapat dalam al-Qur`an.
Di antara karya tafsir yang menggunakan metode tersebut adalah:
a. Al-Mar`ah fi al-Qur`an, karya `Abbas al-`Aqqad
b. Al-Riba fi al-Qur`an, karya Abu al-`A`la al-Maududi
c. Al-`Aqidah fi al-Qur`an al-Karim, karya Muhammad Abu Zahrah
d. Al-Insan fi al-Qur`an al-Karim, karya Ibrahim Mahna.
B. Metode Tafsir al-Khazin
Tafsir bi al-Ra`yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan setelah muncul tafsir bi al-Ma`tsur walaupun sebelumnya al-Ra`yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan al-Qur`an. Apalagi kalau ditilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Tafsir Lubab al-Ta`wil fi Ma`ni al-Tanzil atau lebih populer dengan sebutan tafsir al-Khazin adalah tergolong ke dalam tafsir bi al-Ra`yi dengan menggunakan metode tahlili. Kitab ini ditulis dengan redaksi yang sederhana, sehingga mudah difahami. Dalam penafsirannya, penulis juga menggunakan beberapa riwayat dan cerita untuk memperkuat argementasinya. Riwayat atau cerita yang dimasukkan itu kadang-kadang dijelaskan sumbernya.
Dalam Tafsirnya al-Khazin, mufassir menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan urutan dan susunan dalam mushaf al-Qur`an. Mufassir memulai tafsirnya dengan mengemukakan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan penjelasan maksud ayat secara global. Dalam kajiannya, mufassir ini juga mengemukakan munasabah atau kolerasi ayat-ayat serta menjelaskan bentuk hubungan antara satu ayat dengan ayat lain. Selain itu, mufassir juga menerangkan latar belakang turunnya atau asbab al-nuzul dan menopang uraian dengan hadits, pendapat sahabat, pendapat ulama, dan pandangan mufassir sendiri.
C. Corak Penafsiran al-Khazin
Di antara penyebab yang memicu kemunculan tafsir bi al-Ra`yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pkar-oakar di bidangnya masing-masing. Pada akhirnya, karyatafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka ada yang lebih menekankan telaah balaghah, seperti al-Zamakhsyari, atau telaah hukum, seperti al-Qurthubi, atau telaah keistimewaan bahasa seperti Imam al Nasafi dan Abi al-Su`ud, telaah mazhab-mazhab kalam dan filsafat, seperti Imam al-razi, , atau telaah sejarah dan kisah-kisah seperti tafsir al-Khazin.
Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab di samping sebagai seorang mufassir, seseorang bisa saja juga ahli dalam bidang fiqih, bahasa, filsafat, astronomi, kedokteran, kalam, atau sejarah / peristiwa. Tatkala ada ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya mereka mengeluarkan semua kemampuan pengetahuan tentangnya. Dari sini muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana telah disebutkan di atas.
Ada tafsir bi al-ra`yi yang dapat diterima (maqbul) dan ada pula yang ditolak (mardud). Tafsir bi al-Ra`yi dapat diterima selama mufasirnya menghindari hal-hal berikut:
1. Memaksakan diri untuk mengetahui makna yangdikehendaki Allah pada suatu ayat, sedang ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah.
3. Menafsirkan al-Qur`an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menganggap baik sesuatu berdasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar.
5. Menafsirkan al-Qur`an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian…, tanpa didukung dalil.
Selama mufassir bi al-Ra`yi menghindari kelima hal di atas dann disertai niat ikhlas, penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakann rasional. Jika tidak demikian, artinya menyimpang dari cara yang dibenarkan, maka penafsirannya ditolak.
Karya tafsir bi al-Ra`yi yang dapat dipercaya, di antaranya:
1. Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H).
2. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta`wil, karya al-Baidhawi (w. 691 H).
3. Madarik al-Tanzil wa Haqa`iq al-Ta`wil, karya al-Nasafi (w. 701 H).
4. Lubab al-Ta`wil fi Ma`ani al-Tanzil, karya al-Khazin (741 H).
D. Contoh-contoh Ayat al-Qur`an yang Ditafsirkan
1. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah(2): 34:



Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah (2):34)
Menurut al-Khazin perintah ini ditujukan kepada seluruh Malaikat dengan dalil Firman Allah surat Shaad (38): 73:


Artinya: “Lalu seluruh Malaikat itu bersujud semuanya.”(Shaad (38):73)
Menurutnya yang dimaksud dengan sujud disini adalah sujud sebagai penghormatan bukan sujud sebagai menyembah atau ibadah, seperti sujud saudara-saudara Nabi Yusuf AS kepada Nabi yusuf AS. Dengan demikian makna sujud adalah taat dan menjunjung tinggi perintah Allah.
Menurutnya, Iblis nama asalnya adalah `Izzazil bahasa Suryani, dan dalam bahasa Arab namanya al-Harts. Ketika Iblis berbuat dosa nama dan rupannya berubah menjadi Iblis. Menurut Ibnu `Abbas bahwa Iblis merupakan golongan Malaikat. Pendapat lain menyatakan bahwa ia berasal dari golongan Jin, karena ia diciptakan dari api, sementara malaikat diciptakan dari Nur. Pendapat terkuat menurut al-Khazin adalah pendapat pertama, yakni Iblis merupakan golongan malaikat





2. Firman Allah SWT surat al-Baqarah (2): 102:



Artinya: ”…Dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut…”(al-Baqarah(2):102)
Menurut al-Khazin seluruh ulama sepakat bahwa malaikat itu maksum (terpelihara dari dosa) dari segi keutamaannya. Dan para Imam mazhab juga sepakat bahwa para utusan malaikat sama dengan para Nabi. Tetapi para ualam berbeda pendapat mengenai malikat yang bukan utusan. Muhaqqiqin dan Mu`tazilah berpendapat bahwa seluruh malaikat itu terpelihara dari maksiat dan dosa. Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa malaikat yang bukan utusan itu tidak terpelihara dari dosa, seperti misalnya kisah malaikat Harut dan Marut. Menurut al-Kahzin pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa malaikat itu tidak berbuat dosa sebagaimana di ambil dari pendapat Ali bin Thalib, Ibnu Mas`ud, Ka`ab dan dinukilkan dari para ahli sejarah. Ucapan Harut dan Marut melakukan dosa adalah besumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.



E. Pandangan Ulama Terhadap Tafsir al-Khazin
Tafsir al-Khazin merupakan ringkasan dari Tafsir Baghawi sebagaimana hal itu telah dikemukakan oleh Imam Khazin di dalam muqaddimahnya, dan Tafsir Baghawi adalah ringkasan dari Tafsir Tsa`labi, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Ketika Khazin mengemukakan cerita-cerita Israiliyat di dalam tafsirnya, ia tidak mempergunakan satu system tertentu di dalam periwayatannya. Ia mengemukakan kisah yang di dalamnya terdapat hal-hal yang ganjil, hanya saja tidak berkaitan denga akidah. Kita mendapatkannya ia tidak memberikan komentar sama sekali walaupun hanya satu kalimat, dan tidak memberikan gambaran tentang mungkarnya kisah tersebut.
F. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir al-Khazin
1. Kelebihan Tafsir al-Khazin
Ada beberapa kelebihan atau keunggulan yang dimiliki tafsir al-Khazin yaitu sebagai berikut:
a. Tafsir al-Khazin adalah sebuah tafsir terkenal ma`tsur karena menyebutkan seluruh peristiwa dengan menyebutkan sanad serta argumentasi atau nama-nama para ulama yang berpendapat terhadap suatu persoalan.
b. Redaksi tafsir al-Khazin sangat mudah dan gampang, tidak berbelit-belit dan tidak sulit untuk dipahami baik bagi kalangan ulama maupun kelompok awam.
c. Memperluas riwayat dan kisah-kisah, di mana hal ini jarang dimiliki tafsir lainnya.
d. Kadang-kadang dalam ayat tafsirnya ia menyebutkan riwayat atau cerita-cerita Israiliyat dengan maksud memperingatkan hal yang batil, kemudian ia menuturkan kisah-kisah yang panjang lalu menunjukkan kelemahan dan kedustaannya.
e. Secara global tafsir ini bagus dan indah.
2. Kelemahan Tafsir al-Khazin
Di samping beberapa keutamaan atau kelebihan yang dimiliki tafsir al-Khazin, juga terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan dari tafsir ini yaitu:
a. Secara global tafsir al-Khazin bagus dan indah, kalau saja di dalamnya tidak banyak menyebutkan kisah-kisah dan riwayat yang tidak baik disebutkan, karena lemah dan tidak benar.
b. Dalam pembahasannya kadang-kadang tafsir ini tidak menyebutkan sanad dari riwayat-riwayat yang dituturkannya.
c. Dengan riwayat atau kisah-kisah yang panjang membuat pembaca jenuh dan bosan.
d. Dalam merampungkan cerita atau suatu riwayat, tafsir al-Khazin tanpa memberikan komentar dan menyatakan kecurigaan akan adanya manipulasi dan kelemahan dalam suatu kisah yang dituturkannya.
G. Analisis
Dalam menganalisa beberapa kelebihan dan kelemahan yang dimiliki.tafsir al-Khazin, ada beberapa hal yang perlu dianalisis yaitu:
1. Tafsir ini sekalipun terdapat kelemahan-kelemahannya namun banyak ilmu pengetahuan yang dapat diambil sebagai bahan kajian dan pengembangan pengetahuan tentang tafsir terutama menyangkut dengan riwayat dan pendapat ulama yang disodorkannya.
2. Metode tafsir tahlili yang dikembangkannya telah melengkapi semua persyaratan-persyaratan tafsir, yakni dimulai dari penjelasan kata perkata, uraian makna, asbab al-nuzul dan sejarah atau peristiwa yang berkenaan dengan topik yang dibahas.
3. Bahasa tafsir yang disampaikan tidak berbeli-belit dan mudah difahami terutama bagi mereka yang ingin belajar tafsir.







DAFTAR PUSTAKA



Muhammad Husein aL-Zahabi, Israiliat dalam Tafsir dan Hadith, Terj. Didin Hafidhuddin, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1989).


…………………………………., Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur`an, Terj.Hamin Ilyas & Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).


…………………………………., Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz., I, (Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976).


Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).


Hasan Muarif Ambary…{et al.}, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001).


`Ali Hasan al-`Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992).

Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).


Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu`i dan Cara Penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002).


M. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur`an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: MIzan, 1998).


T.H. Thalhas dan Hasan Basri, Spektrum Saintifika al-Qur`an, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur`an Pase, 2001).


Imam `Alau al-Din `Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bahgdadi, Tafsir al-Khazin, Juz. I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t).


St. Amanah, Pengantar Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, (Semarang: Asy-Syifa`, 1994).

Kamis, 19 November 2009

SUNAN AD-DARIMI ( 181 H - 255 H

Oleh: M. IDRIS T
A. Pendahuluan
Salah satu Ulama Hadis yang sangat terkenal bahkan karyanya banyak mendapat pujian dari kalangan ulama semasanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân ad-Dârimî, yang menjadi rujukan oleh Dr. Arent Jan (A.J.) Wensinck dan merupakan bahagian dari kandungan kitabnya al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi adalah kitab Sunanad-Darimi ini, oleh sebahagian ulama dimasukkan ke dalam kelompok “kitab-kitab hadis standard yang enam“ (al-Kutub as-Sittah).
Argumen yang dikemukakan oleh para ulama dalam menempatkan Sunan ad-Darimi ini pada posisi keenam tersebut adalah karena di dalam sunan ad-Darimi ini hanya terdapat sedikit para perawi yang dikatagorikan da’if, jarang terdapat padanya hadis-hadis yang berstatus munkar dan syaz meskipun di dalamnya terdapat hadis-hadis yang berstatus mursal dan mauquf.
Dalam perjalan sejarah dan perkembangan kitab-kitab hadis, ternyata kitab Sunan ad-Darimi ini kurang dikenal di kalangan umat islam, Hal ini boleh jadi keterbatasan para ulama terdahulu dalam membahas dan memberikan komentar atau syarah terhadap kitab ini.
Dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji dan mempelajari tentang biografi, sistematika penulisan dan isi kandungan dan lain-lain yang berhubungan dengan ulama hadis yang lebih dikenal dengan ad-Dârimî ini.
B. Biografi Imam ad-Darimi
Salah satu yang digelar dengan sebutan al-Hâfîzh al-Kabîr dalam ilmu Hadis dan Ilmu-ilmunya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân bin al-Fadhîl bin Bahram bin ‘Abdusshamad at-Tamîmî as-Samarkandî ad-Dârimî. Beliau lebih dikenal dengan panggilan Imam ad-Dârimî, nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau yaitu Dârimî. Kuniyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 181 Hijriah bertepatan dengan tahun wafatnya ulama Hadis di abad ke 2 yang bernama ‘Abdullah bin Mubaraq bin Wâdih al-Hanzholi at-Tamîmî. Berkata Ishâq bi Ibrâhim Al-Warrâq: Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân berkata: Aku dilahirkan pada tahun dimana wafatnya Ibnu Mubâraq yaitu pada tahun 181 H.
Para ulama Hadis menetapkan katagori tingkatan kepada ulama-ulama terdahulu untuk memudahkan mengetahui masa kehidupan mereka. Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dalam bukunya Taqrîbut Tahzîb menjelaskan ada 12 tingkatan (thabaqah) ulama Hadis. Imam Ad-Dârimî termasuk dalam tingkatan (thabaqah) ke 11, semasa dengan Imam Bukhari dan Muslim.
Beliau wafat pada tahun 255 H dalam usia 74 tahun bertepatan pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah) setelah Ashar dan beliau dikuburkan pada hari Arafah bertepatan pada hari Jum’at di kota Marwa.



C. Guru dan Murid Imam ad-Darimi
Dalam perjalanan hidupnya, terutama sebagai seorang ulama hadis, Imam ad-Darimi telah menimba ilmu dari sejumlah guru dan para ulama terkenal yang ditemui selama hidupnya.
Imam Ad-Dârimî belajar kepada syekh-syekh, beliau sangat banyak memiliki guru, diantaranya adalah:
1. An-Nadhr bin Syamîl
2. Abu An-Nadhr Hâsyim bin Qâsim
3. Marwân bin Muhammad Ath-Thâtharî
4. Yazîd bin Hârûn
5. Asyhal bin Hâtim
6. Habbân bin Hilâl
7. Aswad bin ‘Amir
8. Ja’far bin ‘Aun .
Beliau juga banyak memiliki murid-murid yang belajar dan meriwayatkan Hadis dari beliau, diantaranya adalah:
1. Imam Bukhârî (selain dalam Jâmi’ as-Shahîh)
2. Imam Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî
3. Imam Abu Dâud
4. Imam Tirmizî
5. Hasan bin Shabâh Al-Bazzâr
6. Bindâr
7. Zuhliyyu
8. Abû Zar’ah
9. Abû Hâtim
10. Baqa’ bin Mukhlid
11. ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
12. Muthîn
D. Komentar dan Pengakuan dari Ulama
Ad-Dârimî adalah al-Hâfizh dalam bidang Hadis, oleh karena itu banyak ulama lain yang semasa dengan beliau yang memuji dan mengakui kemampuan dan kehebatannya.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “ ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân adalah Imam dalam bidang Hadis” . Dalam kesempatan lain beliau berkata kepada seseorang: “ Bergurulah kepada Tuan Guru ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân” dan dia mengulang-ngulangi perkataan itu.
Berkata Ibnu Abi Hâtim dari Ayahnya: “ Beliau adalah Imam pada masanya”.
Abu Hâtim bin Hibbân berkata: “ Beliau adalah Huffâzh yang terpercaya, ahli wara’ dalam beragama, banyak hafalan dan karya, menghidupkan Sunnah di masanya dan menentang para munkirusunnah .

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: Beliau adalah tsiqah, fâdhil, mutqin . Tsiqah ¬pengertiannya adalah seseorang yang dapat dipercaya perkataannya tidak pernah berdusta dan berkata sia-sia. Fâdhil maksudnya memiliki akhlak yang mulia tidak pernah melakukan yang makruh apalagi yang haram. Mutqin maknanya hafalannya bagus tidak mudah lupa dan tidak pelupa.
Perkataan di atas merupakan hanya perwakilan dari sekian banyak pujian dan pengakuan yang diberikan para ulama di masa beliau. Dari sini dapat kita ketahui bahwa beliau mamang ahli dalam bidang agama terutama dalam bidang Hadis, bahkan beliau bukan hanya mempelajari dan mendalami Hadis akan tetapi membela Hadis dan menghidupkan Sunnah yang pada masa beliau banyak penguasa yang ingin meninggalkannya.
E. Karya Imam ad-Darimi
Sebagai seorang yang ahli dalam ilmu Hadis dan bidang-bidang lain, beliau banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu agama. Banyak ulama menyebutkan bahwa Imam ad-Dârimî memiliki karya selain buku Sunan. Imam az-Zahabi berkata: Imam ad-Dârimî menyusun:
1. al-Musnad
2. at-Tafsîr
3. al-Jâmi’
Namun diantara karya-karya beliau yang sangat berharga dan sampai kepada kita adalah buku Sunan (.al-Musnad).
Perlu kita ketahui bahwa sebahagian ulama bahwa Sunan ad-Dârimî lebih pantas disebut dengan nama musnad. Kalau yang dimaksud musnad adalah bahwa Hadis-hadis dalam buku itu semua bersandar kepada Nabi Saw. tidak jadi masalah, akan tetapi kalau dimaksudkan bahwa buku Sunan disusun menurut abjad nama Sahabat tidak menurtu bab-bab fiqih tentu itu tidak tepat karena buku Sunan disusun sesuai dengan bab-bab fiqih.
F. Sistematika Penulisan Sunan dan Kandungannya
Sunan ad-Dârimî adalah salah satu dari sekian banyak buku-buku Hadis yang sangat berharga dalam dunia Islam. Berkata Mughkathâya: Sesungguhnya Sekolompok Ulama mengatakan musnad ad-Dârimí adalah Shâhîh”.
Ibnu Shalâh menjadikan Sunan ad-Dârimî sebagai salah satu kitab musnad. Kalau yang dimaksud musnad adalah bahwa Hadis-hadis dalam buku itu semua bersandar kepada Nabi Saw. tidak jadi masalah, akan tetapi kalau dimaksudkan bahwa buku Sunan disusun menurut abjad nama Sahabat tidak menurtu bab-bab fiqih tentu itu tidak tepat karena buku Sunan disusun sesuai dengan bab-bab fiqih.
Penilaian ini terjadi mungkin karena Hadis-hadis di dalam kitab Sunan semuanya ada sandarannya (musnadatun), namun kalau seperti ini penilaiannya tidak jadi masalah. Karena Shahîh Bukhâri juga dinamakan musnad jâmi’, karena hadis-hadisnya ada sandarannya bukan karena disusun menurut metode kitab-kitab musnad.
Adapun status Hadis di dalam Sunan ad-Dârimî adalah bermacam-macam, yaitu:
1. Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim
2. Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3. Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4. Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5. Hadis Hasan
6. Hadis Sadz-dzah
7. Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit
8. Hadis Mursal dan Mauquf, akan tetapi ada thuruq lain yang menguatkannya .
Berkata Syekh ‘Abdul Haq ad-Dahlâwî: berkata sebahagian para ulama bahwa kitab ad-Dârimî lebih pantas dan cocok untuk dimasukkan dalam katagori kutubussittah menggantikan posisi Sunan Ibnu Mâjah, dengan alasan:
1. Karena rijâlul hadisnya lebih kuat
2. Keberadaan Hadis Sadz-dzah dan Munkar hanya sedikit
3. Sanadnya termasuk sanad yang âliyah
4. Rijâlul hadisnya tiga orang lebih banyak dalam kitab Sunan ad-Dârimî dari pada dalam Shâhih Bukhâri .


G. Metode Imam ad-Dârimî dalam Menyusun Materi Hadis
Sunan ad-Dârimî terdiri dari dua jilid, 23 kitâb dan di dalamnya terdapat 3503 Hadis. Diawali dengan Muqaddimah yang isinya tentang sejarah Nabi Muhammad Saw., ittibâ’ sunnah, ilmu dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Adapun kitâb- kitâb yang ada di dalam Sunan Ad-Dârimî adalah:
1. Kitâb at-Thahârah
2. Kitâb as-Shalât
3. Kitâb az-Zakât
4. Kitab as-Shoum
5. Kitâb al-Manâsik
6. Kitâb al-Adhahâ
7. Kitâb as-Shoid
8. Kitâb ath‘Imah
9. Kitâb asy-Ribah
10. Kitâb ar-Ru’yâ
11. Kitâb an-Nikâh
12. Kitâb At-Thalâq
13. Kitâb al-Hudûd
14. Kitâb an-Nuzur wal Aimân
15. Kitâb ad-Diyât
16. Kitâb al-Jihâd
17. Kitâb as-Sair
18. Kitâb al-Buyû
19. Kitâb Isti’zân
20. Kitâb ar-Raqâiq
21. Kitâb al-Farâid
22. Kitâb al-Washâyâ
23. Kitâb Fadhâ’il Qur’ân
Contoh Hadis dalam Sunan ad-Dârimî
جزء 2 صفحة 78 باب 48 رقم الحديث 1876
باب كيف العمل فى القدوم من منى إلى عرفة ؟
أخبرنا عبيد الله بن موسى عن سفيان عن يحي بن سعيد عن عبد الله بن أبي سلمة الماجشون عن إبن عمر قال: خرجنا مع رسول الله من مني فمنا من يكبر ومنا من يلبي. رواه مسلم فى كتاب الحج, باب 46, رقم 1284.
H. Kitab Syarah Imam ad-Darimi
Penulis belum menemukan buku yang mensyarah Sunan ad-Dârimî ini secara luas dan mendalam. Seperti kitâb Shâhir Bukhâri yang disyarah oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni atau Shâhîh Muslim yang disyarah oleh Imam Nawawî. Yang penulis ketahui adalah hanya sekedar tahqîq dengan menjelaskan kata-kata yang asing atau gharî yang dilakukan oleh Dr. Fawwâz Ahmad Zamli dan Dr. Khâlid as-Sab’i al-‘Alamî yang dicetak oleh Dâr ar-Rayyân Litturâts Cairo Mesir pada tahun 1407 H/ 19787 M.



I. Penutup
Demikianlah sekilas tentang biografi dan metode Imam ad-Dârimî dalam menyusun materi Hadis, semoga makalah ini bisa memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada kita untuk lebih mengetahui kepribadian dan karya-karya ulama dalam bidang Hadis.


















DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqalâni, Ibnu Hajar. 2004 M/1425 H. Taqrîbut Tahzîb., Dâr Ibnu Rajab Manshûrah Mesir, Cetakan I

Muhammad Az-Zahabi, Samsuddin. 2003 M/1424H. Siyarul ‘Alâmin Nubalâ, Ash-Safa Cairo-Mesir, Cetakan I

‘Ali Farhat, Muhammad. tt. Dirâsat Fi Manâhijil Muhadditsîn. Cetakan I

bin ‘Abdur Rahmân, ‘Abdullah. Sunan ad-Dârimî, Dâr Kitâb ‘Arabî Beirut Cetakan I 1407 H/ 1987

Katsîr, Ibnu. Bidâyah wan Nihâyah, Dâr Hadis Cairo Mesir, Cetakan 5 Tahun 2003 M

Rabu, 18 November 2009


jfklasdhkjsfd

TASAUF: ARTI, ASAL USUL, TUJUAN, MAQAMAT DAN AHWAL.


OLEH: M. IDRIS. T, SE
untuk masuk ke facebook saya klik disini



Manusia sebagimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki pancaindera (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menhasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang breperan penting. Pertama, Fiqih berperan untuk membersihkan dan meyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fiqih untuk hal tersebut adalah thaharah (bersuci). Oleh karena itu fiqih lebih banyak berkenaan dengan dimensi eksoterik (lahiriyah atau jasmaniyah) dari manusia. Kedua, filsafat berfungsi untuk menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran manusia. Karenanya filsafat lebih berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia. Ketiga tasauf berperan dalam membersihkan hati sanubari manusia. Karenya tasauf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin atau ruhaniyah) manusia.

A. PENGERTIAN TASAUF.
1. Tasauf dalam Pengertian Etimologis (bahasa)
Para peneliti, baik klasik maupun kontemporer, berbeda pendapat seputar asal muasal kata tasauf. Perbedaan pendapat ini melahirkan banyak perbedaan, sehingga berimbas kepada definisi. Adapun yang terpenting dalam kaitannya dengan asal muasal atau istilah yang dihubung-hubungkan dengan kata tasauf adalah sebagai berikut:
a.. Kata shufi diambil dari kata shafa (jernih, bersih) atau shuf (bulu domba) pendapat ini benar, jika dilihat dari sisi makna yang dikandung tasauf, tetapi kurang tepat jika dilihat dari sisi akar katanya. Menurut kaidah bahasa penisbatan kata shufi terhadap kata shafa tidak tepat. Karena kata shafa adalah shafa`i bukan shufi. Demikian juga kata shuf adalah shafawi , bukan shufi
b. Sebagian pendapat, kata shufi dinisbatkan kepada ahlush Shuffah. Kata ini dipakai untuk menyebutkan orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang memakai pelana sebagai bantal, pelana disebut Shuffah. Mereka dihibur oleh Rasulullah SAW, dan beliau juga menganjurkan sahabat-sahabatnya menghibur ahlush shuffah ini. Penisbatan ini juga tidak tepat. Karena kata shuffah adalah shuffi bukan shufi.
c. Pendapat lain menyebutkan bahwa, kata shufi diambil dari akar kata shaff. Dari segi bahasa tidak tepat, karena nisbat kata shaff adalah shaffi, bukan sufi.
d. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kaum sufi dinisbatkan kepada kabilah Bani shuufah, yakni kabilah baduwi yang mengurus Ka`bah pada masa jahiliyah.
e. Sebagian pendapat mengemukakan bahwa kata sufi diambil dari kata shawfaanah. Kata ini juga tidak tepat karena nisbah kata shawfaanah adalah shawfaani, bukan sufi.
f. Sebagian berpendapat bahwa kata sufi adalah nisbat dari kata suufiya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani (shopie atau shophos) yang berarti mencintai dan mengutamakan filsafat atau hikmah. Pendapat ini kurang tepat karena huruf " س " dari bahasa Yunani selalu ditransliterasikan dengan huruf siin dalam bahasa Arab, bukan huruf "ص ". Jika kata sufi diasumsikan berasal dari kata sophie, maka harus ditulis dengan huruf "siin" bukan huruf "shaad"
g. Pendapat terakhir menyebutkan bahwa kata sufi diambil dari kata shuuf (bulu domba kasar), karena memakai baju dari bulu domba kasar adalah kebiasaan para dan shiddiqin.. Pakaian ini juga merupakan tanda orang-orang miskin yang rajin beribadah.
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas tentang asal usul kata sufi atau secara etimologi. Maka teori terakhir yang banyak diterima sebagai asal kata sufi, yaitu kata sufi berasal dari kata shuuf (bulu domba kasar). Karena dari sisi makna maupun bahasa sangat sesuai. Sebagaimana yang diutarakan oleh Dr. Qasim Ghani " Walhasil, pendapat yang paling sesuai dengan logika akal, mantiq dan kaidah bahasa adalah pendapat yang mengatakan bahwa sufi adalah kata Arab, shuuf (bulu domba). Di mana orang-orang zuhud yang selalu riyadhah (latihan) pada abad-abad pertama Hijriyah disebut sufi, karena mereka terbiasa memakai pakaian dari bulu domba kasar".
2. Tasauf dalam Pengertian Terminologis (Istilah)
Adapun pengertian tasauf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya msing-masing. Perbedaan ini terjadi karena banyaknya mazhab dalam tasauf. Di antara definisi tasauf adalah sebagai berikut:
a. Ma`ruf al-Karkhi (W. 200 H) mendefinisikan tasauf sebagai: "menempuh hakikat, dan memutuskan harapan kepada sesama makhluk".
b. Abu al-Hasan al-Tsawri (W. 161 H) mengatakan, " Tasauf berarti membenci dunia dan mencintai Allah".
Berdasarkan kedua definisi di atas, maka tasauf bisa diartikan sebagai " berzuhud di dunia mengkhususkan semua amal hanya bagi Allah, dan meninggalkan hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat".
c. Al-Kittani (W. 322 H) mendefinisikan tasauf sebagai "akhlak, maka barangsiapa yang menambah akhlaknya, berarti ia telah menambah kesucian dirinya".
d. Al-Hariri (W. 311 H) menyebutkan tasauf sebagai " masuk ke dalam akhlak sunni (mulia), dan keluar dari akhlak rendah".
Dan sebagai himpunan dari beberapa definisi di atas, al-Junaid (W. 297 H) sebagai salah seorang tokoh sufi, mendefinisikan tasauf sebagai "membersihkan hati dri apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instinct) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruahanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu haqiqat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal haqiqat, dan mengikt contoh Rasulullah dalam hal syari`at".

B. SUMBER-SUMBER TASAUF
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasauf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha, dan unsur Persia. Sebagian dari mereka berusaha untuk bersikap moderat. Mereka berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasauf adalah al-Qur`an al-Karim dan kehidupan Rasulullah SAW. Dari keduanya terambil benih-benih tasauf yang pertama. Kemudian diikuti kebudayaan asing, yaitu India, Yunani, Persia, dan Masehi.
1. Unsur Islam.
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah atau jasmaniyah, dan kehidupan yang bersifat batiniyah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniyah itulah kemudian lahir tasauf. Unsur kehidupan tasauf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yakni al-Qur`an, al-Sunnah (praktek Kehidupan Rasul SAW) dan para sahabatnya. Al-Qur`an antara lain: berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah), lihat QS. Al-Maidah (5): 54. Perintah manusia agar selalu bertaubah, membersihkan diri serta memohon ampunan kepada Allah, lihat QS. Tahrim (66):8. Petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada, lihat QS. Al-Baqarah (2): 110. dan beberapa ayat lainnya yang tidak penulis sebutkan secara rinci.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan al-Qur`an di atas, al-sunnah pun mengungkapkan tentang kehidupan rohaniyah dengan mendekatkan diri kepada Allah. Di antaranya hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ازهد فى الدنيا يحبك الله وازهد فيما في ايدي الناس يحبوك.( رواه ابن ماجه)
Artinya: "Bersikap zuhudlah didunia, niscaya Allah akan mencintaimu! Bersikap zuhudlah dari segala apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu! (HR Ibnu Majah)
Abdullah bin `Umar RA berkata, " Rasulullah SAW memegang pundakku sembari bersabda:
كن في الد نيا كانك غريب او عابر سبيل.( رواه البخاري)
Artinya: "Jadilah engkau di dunia ini laksana orang asing atau orang yang sedang menyeberang jalan". (HR. Bukhari).
Hadith-hadith inilah oleh para sufi dijadikan sumber kedua setelah al-Qur`an dalam merealisasikan ajaran-ajaran tasauf. Di samping beberapa hadith lainnya tentang zuhud dan menjauhi kemewahan dunia.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira` menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab larut dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan menggunakan segala cara untuk menghalalkannya.

2. Unsur Luar Islam
Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasauf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur Masehi
Adanya pengaruh dari agama Kristen (Nasrani) dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara sebagaimana yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasauf adalah buah dari unsr agama Nasrani yang terdapat di zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islma adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.
Selanjutnya Noldiker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah itu bersal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasauf berasal dari agama Nasrani.
b. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yang populer yaitu filsafat telah merambah dunia. Di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncak perkembangannya pada Daulah Abbasiyah. Metode berpikir filsafat Yunani telah ikut mempengaruhi pola pikir sebagian umat Islam terutama masalah tasauf. Di antara pola pikir yang dimaksud adalah mengenai Filsafat mistik Phythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup di alam samawi manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan dunia materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkotemplasi.
Filsafat Emanasi Plotinus yang menyebutkan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, atau sampai bersatu dengan Tuhan.
c. Unsur Hindu / Budha.
Ajaran-ajaran Hindu mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman. Dan dalam ajaran Budha dengan faham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
Teori-teori inilah yang mengatakan bahwa tasauf dalam Islam timbul dan muncul akibat pengaruh-pengaruh dari faham tersebut di atas. Apakah teori-teori ini benar atau tidak, diperlukan penelitian yang mendalam. Namun yang jelas, tanpa adanya pengaruh dari faham-faham tersebut, sufisme bisa muncul dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan al-Sunnah.
Prof. DR. Hamka dalam bukunya "Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad menyimpulkan bahwa tasauf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. bertumbuh dalam jiwa Pendiri Islam itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad, disauk airnya dari dalam al-Qur`an itu sendiri".

C. TUJUAN TASAUF
Tujuan pokok tasauf adalah untuk mencapai "ma`rifatullah" (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya. Dan hikmahnya adalah sampai kepada Allah, tersingkap hijab (dinding) yang membatasi dirinya dengan Allah. Adapun yang dimaksud dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma`rifatullah dalam pandangan tasauf adalah sebagai berikut:
1. Ma`rifatullah atau Ma`rifat billah
Ma`rifatullah adalah melihat Tuhan dengan matahati (`ain al-basirah) mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tetapi tidak dengan kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun lainnya. Istilah lain sebagai ganti ma`rifat adalah ru`yah, musyahadah dan liqa`. Ru`yat dapat dicapai sesudah kasyaf yaitu terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara hamba dengan rabb-nya. Ma`rifat tetap bisa dicapai oleh seseorang bila sudah menjalankan syari`at dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran maksiat.
Bagi para mutasawwifin, ma`rifat billah adalah tujuan utama dan merupakan kelezatan ayang paling tinggi menurut pengakuan al-Gazali di mana ia mengemukan sebagai berikut: "Kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan Ketuhanan dan melihat rahasia-rahasia hal ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan top dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk.
Dari penjelasan di atas dapatlah difahami bahwa:
a. Ma`rifat billah bisa dikasab dengan melalui beberpa tingkat atau tahapan
b. Ma`rifat billah dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran maksiat.


2. Insan kamil
Tujuan tasauf berikutnya adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil yaitu manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama.
Insan Kamil dalam pandangan para mutasawwifin pengertiannya beragam. Ibnu `Arabi, seorang ahli tasauf yang berfaham pantheisme atau wahdatul wujud, ia berpendapat: " manusia utama atau insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasiwahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya. Lebih lanjut Jalaluddin Rumi menyatakan: " insan kamil adalah seorang yang sadar tentang ke-aku-annya yang trasedent (faaiq) dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat ilahi. Insan kamil langsung berhubungan dengan Tuhan, tidak ada lagi Nabi atau malaikat yang mengatara padanya.
D. MAQAMAT DAN AHWAL
1. Maqamat
Secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Maqamat (kedudukan) adalah istilah kaum sufi yang menunjukkan arti nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (pencari kebenaran spiritual dalam praktek ibadah). Imam al-Qusyairi membicarakan maqamat yaitu adab yang dijalani dengan semacam tindakan dan pemaksaan diri. Dengan demikian, kedudukan setiap manusia adalah kedudukannya ketika melaksanakan hal itu dengan cara latihan. Adapun syaratnya adalah ia tidak naik dari satu kedudukan ke kedudukan lainnya, sebelum menyempurnakan kedudukan.
Tentang berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan. Di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta`aruf li Mazhab ahl al-Tasauf mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu`, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma`rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-Luma` menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara`, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal,dan al-ridha`.
Dari kutipan tersebut memperlihatkan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara`, al-faqr, al-sabr, al-tawakkal, dan al-ridha`
a. Al-Zuhud.
Secara harfiyah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Atau meninggalkan dunia untuk beribadah. Syaikh Abul Qasim al-Junaidi al-Baghdadi memberikan pengertian al-zuhud, yaitu "bersifat dermawan dari harta yang dimiliki sehingga tak mempunyai harta, serta tidak mempunyai sifat serakah". Sementara Masruq mengemukakan pandangannyan, bahwa zuhud adalah seseorang yang mempunyai sifat selalu tidak memiliki sesuatu kecuali karena kemurahan dari Allah.
Hati yang zuhud terhadap sesuatu adalah hati yang tidak menghendaki, tetapi ia tidak membenci dan tidak lari daripadanya, tidak menginginkan dan tidak menuntut. Zuhud yang terpuji menurut syara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat atau meningglkan segala sesuatu yang tidak diperlukan di akhirat. Sehingga membantunya meraih keindahan kehidupan akhirat.
Zuhud termasuk salah satu ajaran Agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
Di antara tokoh sufi yang menggeluti sifat ini, yaitu Sufyan al-Tsauri (W.135 H), Abu Hasyim (W. 150 H), Jabir Ibn Hasyim (W. 190 H), hasan Basri (W. 110 h), dan Rabiah al-Adawiyah.
b. Al-Taubah.
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan, taabatan, mataaban yang artinya kembali dan menyesal. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan diserti janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai melakukan amal kebaikan. Untuk mencapai taubat yang sebenarnya tidak cukup hanya satu kali saja. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubah yang sesungguhnya. Taubat yang sesungguhnya dalam faham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Allah, dan yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.

Taubat itu ada tiga tingkatan, yaitu:
1) Taubat kembali dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan karena takut murka Allah.
2).Inabah, kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik karena memohon ridha Allah.
3).Taubat para Nabi dan Rasul, tidak menharapkan pahala dan tidak pula takut siksa, dan baginya sudah maksum.
c. Al-Wara`
Secara harfiyah al-wara`artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi al-wara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan,minuman, pakaian dan sebagainyayang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum akan kekerasan hati, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Allah. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
d. Al-Faqr.
Secara harfiyah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau lebih miskin dari orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir itu adalah tidak menerima lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalakan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tidak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta tetapi tidak menolak.
e. Sabar
Sabar yang dimaksudkan dalam ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Allah dengan jalan meninggalkan ucapan yang bisa membawa adanya keluh kesah dan keluh kesah itupun dibawa kedalam ibadat. Selanjutnya di kalangan para sufi pula diartikan sabar adalah sabar dalam menjalankan perintah Allah, dalam menjauhi segala laranngan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita.
f. Tawakkal
Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh kepada Allah. Harun Nasution mengemukakan, bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Tawakkal terdiri atas bermacam-macam jenis menurut tingkatannya dan penamaannya sesuai dengan derajat sehingga menjadi tawakkal, taslim, dan tafwidh. Tawakkal merupakan awal dari suatu kedudukan (maqam) yang bersifat rohani, al-taslim adalah perantaranya, sedangkan tafwidh adalah akhirnya.
g. Kerelaan (Ridha)
Menurut Syaikh Dzun Nun al-Misri, ridha adalah hati merasa senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Al-Haris al-Muhasibi mendefinisikan ridha sebagai, hati menerima keputusan hukum (taqdir). Jadi ridha pada intinya adalah seseorang yang rela menerima berbagai bala atau bencana dengan harapan dan kegembiraan.
Ridha adalah perstasi tertinggi yang telah dilalui dalam perjalanan sufi seseorang. Para syaikh sufi mengatakan, keredhaan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar. Maksudnya, barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut dengansambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi.
2. Ahwal
Al-Haal atau ahwal atau hal menurut kaum sufi adalah makna, nilai, atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis (dengan sendirinya), tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan. Keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadhu`), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam,bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi yaitu datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadhah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadhah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Mujahadah berarti berusaha bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allam. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan Muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah, dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir serta tidak memakan makanan yang berdarah.
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa jalan menuju ketempat tujuan yang harus dilalui oleh para sufi untuk memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniyah dengan Tuhan bukanlah jalan yang mudah. Tetapi harus melewati maqam demi maqam. Melewati satu maqam saja amat berat apalagi melewati beberapa maqam.


























DAFTAR PUSTAKA


Abdul Fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasauf Antara Al-Gazali dan Ibnu Taimiyah, Terj. Muhammad Muchson Anasy (Jakarta: Khalifa, 2005).

M. Zain Abdullah, Tasauf dan Zikir, (Solo: Ramadhani, 1993).
Abuddin Nata, Akhlak Tasauf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Moh Saifulloh al-Azis S, Risalah Memahami Ilmu Tasauf,(Surabaya: Terbit Terang, 1998).
Abdul Halim Mahmud, Tasauf di Dunia Islam, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: ustaka Setia, 2002)
Lois Ma`luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977)..
Muhammad As-Sayyid al-Galind, Tasauf dalam Pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah, terj. Muhammad Abdullah al-Amiry (Jakarta: Cendekia, 2003).

PENGANTAR ILMU HADIST

(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih.

Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi.

Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah.

Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.

ISTILAH ISTILAH HADITS

Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.

Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.

Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah

“Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing masing.”

Sabda Nabi saw yang mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.

Musnad = hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.

Musnid =orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.

Al Muhaddits = orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).

Al-Haafizh =orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.

Al-Hujjah = orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.

Al-Haakim = orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.

PEMBAGIAN HADITS

1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.

a. Hadits Muttawatir = hadits yang memenuhi empat syarat , yaitu :

= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.

= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.

= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.

= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).

Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan :
“Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap menempati tempat duduknya dari api neraka.”

b. Hadits Ahad = hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.

Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :

1. Hadits Sahih = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu’allal (tercela) dan tidak pula syadz (menyendiri).

Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak belian.

Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
• dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.

• dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).

Mu’allal = hadits yang dimasuki oleh suatu ‘illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya di mauqufkan (diteliti lebih mendalam).

Syadz =hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.

2. Hadits Hasan = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.

3. Hadits Dha’if =hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha’if menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi.
Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha’if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha’ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam beramal.

2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :

a. Hadits Masyhur = hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekali pun hal itu maudhu’ (palsu).

b. Hadits ‘Aziz = hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah (tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan dalam bidang ilmu ini.

c. Hadits Gharib =hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :

• gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
• gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.

3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :

a. Hadits Maqbul =hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :

- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil sanadnya, tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.

- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.

- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna) muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu’allal dan tidak pula syadz.

- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalamnya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.

Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :

1.Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2.Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3.Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4.Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.

b. Hadits Mardud= hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan . Hadits mardud ini tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu :
¨. mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam :

a. Mu’allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits mu’allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.

b. Mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi’in kepada Nabi saw..

c. Mu’adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.

d. Munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.

e. Mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan periwayatnya memakai istilah ‘an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad.
Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.

¨. mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :

a. maudhu’ yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.

b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.

c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.

d. mu’allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.

Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :

• Mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit) seperti yatahannatsu (yata’abbadu) yang artinya beribadah.

• Mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad dalam satu sanad tanpa penjelasan.

Termasuk kedalam pengertian tha’n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha’n ialah idhthirab yakni hadits yang mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan.

Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf).

Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain nya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid’ah, syudzudz, dan ikhtilath.

• hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan namanya.

• hadits mubtadi’ ialah jika bid’ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika bid’ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada bid’ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.

• hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
• hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima.
Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggudan zaman sesudahnya, maka senuanya ditolak.

4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :

a.Hadits marfu’ ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.

b.Hadits Mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu’, baik secara ucapan maupun perbuatan.

c.Hadits Maqthu’ ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi’in.

d.Hadits Muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.

e.Hadits al Nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

f.Hadits Nazil Nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. Hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena keistimewaan khusus yang ada padanya.

BERBAGAI JENIS RIWAYAT

Ada berbagai jenis riwayat yaitu riwayat Aqran, Akabir ‘an Ashaghir, Ashaghir ‘an Akabir, Musalsal, Muttafiq dan Muftariq, Mu’talif dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.

Riwayat Aqran = riwayat yang dilakukan oleh salah seorang perawi diantara dua orang perawi yang berteman dari perawi lainnya. Dua orang teman ialah teman yang berdekatan umur atau isnadnya, atau kedua duanya. Berdekatan dalam hal isnad artinya berdekatan dalam berteman dan mengambil dari guru. Riwayat Aqran ini terdiri dari :

1. Mudabbaj yaitu riwayat dari masing masing dua perawi yang berteman lagi sama umur dan isnadnya dari perawi lainnya.

2. Ghairu Mudabbaj yaitu riwayat dari salah seorang dua perawi yang berteman, sedangkan keduanya sama dalam hal umur dan isnadnya.

Riwayat Akabir ‘an Ashaghir Þ seseorang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang lebih rendah darinya dalam hal umur atau dalam bersua (berteman). Termasuk kedalam pengertian ini ialah riwayat para orang tua dari anak anak Nya dan riwayat para sahabat dari para tabi’in, jenis ini jarang didapat. Kebalikannya memang banyak, yaitu riwayat Ashaghir ‘an Akabir atau riwayat yang dilakukan oleh anak dari orang tuanya atau tabi’in dari sahabat, jenis ini banyak didapat.

Hadits Musalsal = hadits yang para perawinya sepakat terhadap kondisi qauli atau fi’li , seperti lafazh haddatsani dan anba’ani dan seterusnya.

Hadits Muttafaq dan Muftaraq = hadits yang semua nama perawinya telah disepakati secara lafazh dan tulisan, tetapi madlul atau pengertiannya berbeda beda.

Hadits Mu’talaf dan Mukhtalaf = hadits yang sebagian nama perawinya disepakati secara tulisan, tetapi secara ucapan berbeda, seperti lafazh Zabir dan Zubair.

Hadits Mutasyabih = hadits yang nama sebagian perawinya disepakati, tetapi nama orang tua mereka masih diperselisihkan, seperti Sa’ad ibnu Mu’adz dan Sa’ad ibnu Ubadah.

Hadits Muhmal = hadits yang diriwayatkan dari dua orang perawi yang bersesuaian dalam nama hingga tidak dapat dibedakan. Apabila keduanya merupakan dua orang tsiqah (terpercaya), maka tidak ada bahayanya, seperti nama Sufyan, tetapi apakah Sufyan Ats-Tsauri ataukah Sufyan ibnu Uyainah. Jika keduanya bukan orang orang tsiqah maka berbahaya.

Hadits Sabiq dan Lahiq = suatu hadits yang didalamnya tergabung suatu riwayat yang dilakukan oleh dua orang perawi dari gurunya masing masing, tetapi salah seorang diantara keduanya telah wafat lebih dahulu jauh sebelum yang lainnya, sedangkan jarak antara matinya orang pertama dengan orang kedua cukup lama.

Ungkapan penyampaian hadits yang terkuat ialah memakai kalimat sami’tu (aku telah mendengar) dan haddatsani (telah menceritakan sebuah hadits kepadaku). Setelah itu memakai lafazh qara’tu ‘alaihi (aku belajar darinya), kemudian memakai lafazh quri-a ‘alaihi (diajarkan kepadanya), sedangkan aku mendengarkannya, kemudian memakai lafazh anba-ani (dia telah memberatkan kepadaku), kemudian memakai lafazh nawalani ijazatan (dia telah memberikan hadits ini kepadaku secara ijazah), kemudian memakai lafazh kutiba ilayya (dikirimkan kepadaku melalui tulisan atau surat), kemudian memakai lafazh wajadtu bikhaththihi (aku menemukan pada tulisannya),

Adapun hadits mu’an’an seperti ‘an fulaanin (dari si fulan), maka hadits ini dikategorikan kedalam hadits yang diterima melalui mendengarkannya dari orang yang sezaman, tetapi tidak mudallas.

PENUTUP

Adil riwayat =seorang muslim yang akil baliq, menjauhi dosa dosa besar dan memelihara diri dari dosa dosa kecil pada sebagian besar waktunya, tetapi tidak disyaratkan laki laki dan merdeka. Oleh karena itu, riwayat yang dilakukan oleh wanita dan budak belian dapat diterima. Riwayat yang dilakukan oleh ahli bid’ah jika dia orang yang adil lagi tidak menyerukan orang lain kepada bid’ahnya dan bid’ahnya tidak sampai kepada tingkatan kekufuran (bid’ah munkarah) diterima pula.


EMPAT PERINGKAT URUTAN ADIL

1. Si Fulan orang yang sangat terpercaya, dapat dijadikan sebagai rujukan, sangat handal untuk dijadikan hujjah, dapat dijadikan rujukan dan hujjah, hafalannya dapat dijadikan hujjah.

2. Si Fulan orang yang terpercaya, atau dapat dijadikan hujjah, atau orang yang hafizh, atau orang yang dapat
menjadi rujukan, atau orang yang dhabith, atau orang yang mutqin (mendalami).
Kebaikan kedua peringkat diatas ialah bahwa hadits mereka dapat ditulis untuk dijadikan hujjah, pelajaran dan
saksi (bukti) karena lafazhnya menunjukan pengertian yang mengandung makna adil dan dhabith.

3. Si Fulan orang yang jujur, atau orang yang terpilih, atau orang yang dapat dipercaya, atau boleh diambil haditsnya, atau tidak ada celanya. Orang yang menduduki peringkat ini haditsnya boleh ditulis, tetapi masih harus di pertimbangkan karena lafazhnya tidak memberikan pengertian dhabith. Sekalipun demikian, hadits mereka dapat dianggap setelah mendapat persetujuan dari orng orang yang dhabith.

4. Si Fulan menjadi sumber mereka dalam mengambil riwayat, atau haditsnya pantas dinilai jujur, atau si Fulan mendekati kejujuran, guru yang bersifat adil, haditsnya saleh, atau jayyid, atau baik, atau cukup baik, aku berharap semoga dia tidak ada celanya, dia orang jujur Insya Alloh. Orang orang yang menduduki peringkat ini haditsnya boleh ditulis, tetapi hanya sebagai penjelasan.

LIMA PERINGKAT URUTAN TAJRIH (CELA)

1. Si Fulan berdusta, hal ini merupakan tajrih (celaan) yang paling buruk, misalnya dengan kata kata dia pendusta, tukang membuat buat hadits, tukang membual lagi pendusta.

2. Si Fulan orang yang rendah, atau orang yang binasa, orang yang ngaco, omongannya perlu dipertimbangkan, tertuduh sebagai orang dusta, atau membuat buat hadits. Dia orang yang ditinggalkan haditsnya, tidak dianggap tidak dianggap haditsnya, tidak dipercaya, tidak dapat dipegang, atau mereka tidak memberikan komentar mengenainya.

3. Si Fulan ditolak haditsnya, dia tertolak, mereka menolak haditsnya, lemah haditsnya, lemparkan haditsnya, hadits nya dilemparkan, mereka melemparkan haditsnya, lemah sekali, tidak ada apa apanya, tidak dianggap sesuatu, atau tidak ada harganya sama sekali.
Hadits orang yang menduduki ketiga peringkat ini tidak dianggap, baik untuk hujjah maupun untuk pelajaran.

4. Si Fulan munkar haditsnya, lemah haditsnya, kacau haditsnya, atau lemah sekali dan mereka menganggapnya dha’if serta tidak dapat dijadikan hujjah.

5. Si Fulan masih ada lemahnya, atau masih ada celanya atau lemahnya, buruk hafalannya, lemah haditsnya, dekat kepada lemah, mereka membicarakan tentangnya, bukan orang yang dapat menguasai, bukan orang yang kuat, bukan orang yang dapat dijadikan hujjah, bukan orang yang dapat dipegang, atau bukan orang yang memuaskan karena mereka telah mencelanya dan mereka berselisih pendapat mengenai dirinya. Si Fulan dikenal tetapi di ingkari.
Hadits orang yang menduduki peringkat keempat dan kelima ini dapat diketengahkan sebagai pelajaran dan saksi.
(bukti).


(Maraji’: Terjemahan Bulughul Maram oleh Bachrun Abu Bakar, terbitan Trigenda Karya)