Rabu, 18 November 2009
TASAUF: ARTI, ASAL USUL, TUJUAN, MAQAMAT DAN AHWAL.
OLEH: M. IDRIS. T, SE
untuk masuk ke facebook saya klik disini
Manusia sebagimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki pancaindera (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menhasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang breperan penting. Pertama, Fiqih berperan untuk membersihkan dan meyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fiqih untuk hal tersebut adalah thaharah (bersuci). Oleh karena itu fiqih lebih banyak berkenaan dengan dimensi eksoterik (lahiriyah atau jasmaniyah) dari manusia. Kedua, filsafat berfungsi untuk menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran manusia. Karenanya filsafat lebih berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia. Ketiga tasauf berperan dalam membersihkan hati sanubari manusia. Karenya tasauf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin atau ruhaniyah) manusia.
A. PENGERTIAN TASAUF.
1. Tasauf dalam Pengertian Etimologis (bahasa)
Para peneliti, baik klasik maupun kontemporer, berbeda pendapat seputar asal muasal kata tasauf. Perbedaan pendapat ini melahirkan banyak perbedaan, sehingga berimbas kepada definisi. Adapun yang terpenting dalam kaitannya dengan asal muasal atau istilah yang dihubung-hubungkan dengan kata tasauf adalah sebagai berikut:
a.. Kata shufi diambil dari kata shafa (jernih, bersih) atau shuf (bulu domba) pendapat ini benar, jika dilihat dari sisi makna yang dikandung tasauf, tetapi kurang tepat jika dilihat dari sisi akar katanya. Menurut kaidah bahasa penisbatan kata shufi terhadap kata shafa tidak tepat. Karena kata shafa adalah shafa`i bukan shufi. Demikian juga kata shuf adalah shafawi , bukan shufi
b. Sebagian pendapat, kata shufi dinisbatkan kepada ahlush Shuffah. Kata ini dipakai untuk menyebutkan orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang memakai pelana sebagai bantal, pelana disebut Shuffah. Mereka dihibur oleh Rasulullah SAW, dan beliau juga menganjurkan sahabat-sahabatnya menghibur ahlush shuffah ini. Penisbatan ini juga tidak tepat. Karena kata shuffah adalah shuffi bukan shufi.
c. Pendapat lain menyebutkan bahwa, kata shufi diambil dari akar kata shaff. Dari segi bahasa tidak tepat, karena nisbat kata shaff adalah shaffi, bukan sufi.
d. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kaum sufi dinisbatkan kepada kabilah Bani shuufah, yakni kabilah baduwi yang mengurus Ka`bah pada masa jahiliyah.
e. Sebagian pendapat mengemukakan bahwa kata sufi diambil dari kata shawfaanah. Kata ini juga tidak tepat karena nisbah kata shawfaanah adalah shawfaani, bukan sufi.
f. Sebagian berpendapat bahwa kata sufi adalah nisbat dari kata suufiya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani (shopie atau shophos) yang berarti mencintai dan mengutamakan filsafat atau hikmah. Pendapat ini kurang tepat karena huruf " س " dari bahasa Yunani selalu ditransliterasikan dengan huruf siin dalam bahasa Arab, bukan huruf "ص ". Jika kata sufi diasumsikan berasal dari kata sophie, maka harus ditulis dengan huruf "siin" bukan huruf "shaad"
g. Pendapat terakhir menyebutkan bahwa kata sufi diambil dari kata shuuf (bulu domba kasar), karena memakai baju dari bulu domba kasar adalah kebiasaan para dan shiddiqin.. Pakaian ini juga merupakan tanda orang-orang miskin yang rajin beribadah.
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas tentang asal usul kata sufi atau secara etimologi. Maka teori terakhir yang banyak diterima sebagai asal kata sufi, yaitu kata sufi berasal dari kata shuuf (bulu domba kasar). Karena dari sisi makna maupun bahasa sangat sesuai. Sebagaimana yang diutarakan oleh Dr. Qasim Ghani " Walhasil, pendapat yang paling sesuai dengan logika akal, mantiq dan kaidah bahasa adalah pendapat yang mengatakan bahwa sufi adalah kata Arab, shuuf (bulu domba). Di mana orang-orang zuhud yang selalu riyadhah (latihan) pada abad-abad pertama Hijriyah disebut sufi, karena mereka terbiasa memakai pakaian dari bulu domba kasar".
2. Tasauf dalam Pengertian Terminologis (Istilah)
Adapun pengertian tasauf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya msing-masing. Perbedaan ini terjadi karena banyaknya mazhab dalam tasauf. Di antara definisi tasauf adalah sebagai berikut:
a. Ma`ruf al-Karkhi (W. 200 H) mendefinisikan tasauf sebagai: "menempuh hakikat, dan memutuskan harapan kepada sesama makhluk".
b. Abu al-Hasan al-Tsawri (W. 161 H) mengatakan, " Tasauf berarti membenci dunia dan mencintai Allah".
Berdasarkan kedua definisi di atas, maka tasauf bisa diartikan sebagai " berzuhud di dunia mengkhususkan semua amal hanya bagi Allah, dan meninggalkan hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat".
c. Al-Kittani (W. 322 H) mendefinisikan tasauf sebagai "akhlak, maka barangsiapa yang menambah akhlaknya, berarti ia telah menambah kesucian dirinya".
d. Al-Hariri (W. 311 H) menyebutkan tasauf sebagai " masuk ke dalam akhlak sunni (mulia), dan keluar dari akhlak rendah".
Dan sebagai himpunan dari beberapa definisi di atas, al-Junaid (W. 297 H) sebagai salah seorang tokoh sufi, mendefinisikan tasauf sebagai "membersihkan hati dri apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instinct) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruahanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu haqiqat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal haqiqat, dan mengikt contoh Rasulullah dalam hal syari`at".
B. SUMBER-SUMBER TASAUF
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasauf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha, dan unsur Persia. Sebagian dari mereka berusaha untuk bersikap moderat. Mereka berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasauf adalah al-Qur`an al-Karim dan kehidupan Rasulullah SAW. Dari keduanya terambil benih-benih tasauf yang pertama. Kemudian diikuti kebudayaan asing, yaitu India, Yunani, Persia, dan Masehi.
1. Unsur Islam.
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah atau jasmaniyah, dan kehidupan yang bersifat batiniyah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniyah itulah kemudian lahir tasauf. Unsur kehidupan tasauf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yakni al-Qur`an, al-Sunnah (praktek Kehidupan Rasul SAW) dan para sahabatnya. Al-Qur`an antara lain: berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah), lihat QS. Al-Maidah (5): 54. Perintah manusia agar selalu bertaubah, membersihkan diri serta memohon ampunan kepada Allah, lihat QS. Tahrim (66):8. Petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada, lihat QS. Al-Baqarah (2): 110. dan beberapa ayat lainnya yang tidak penulis sebutkan secara rinci.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan al-Qur`an di atas, al-sunnah pun mengungkapkan tentang kehidupan rohaniyah dengan mendekatkan diri kepada Allah. Di antaranya hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ازهد فى الدنيا يحبك الله وازهد فيما في ايدي الناس يحبوك.( رواه ابن ماجه)
Artinya: "Bersikap zuhudlah didunia, niscaya Allah akan mencintaimu! Bersikap zuhudlah dari segala apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu! (HR Ibnu Majah)
Abdullah bin `Umar RA berkata, " Rasulullah SAW memegang pundakku sembari bersabda:
كن في الد نيا كانك غريب او عابر سبيل.( رواه البخاري)
Artinya: "Jadilah engkau di dunia ini laksana orang asing atau orang yang sedang menyeberang jalan". (HR. Bukhari).
Hadith-hadith inilah oleh para sufi dijadikan sumber kedua setelah al-Qur`an dalam merealisasikan ajaran-ajaran tasauf. Di samping beberapa hadith lainnya tentang zuhud dan menjauhi kemewahan dunia.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira` menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab larut dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan menggunakan segala cara untuk menghalalkannya.
2. Unsur Luar Islam
Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasauf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur Masehi
Adanya pengaruh dari agama Kristen (Nasrani) dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara sebagaimana yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasauf adalah buah dari unsr agama Nasrani yang terdapat di zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islma adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.
Selanjutnya Noldiker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah itu bersal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasauf berasal dari agama Nasrani.
b. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yang populer yaitu filsafat telah merambah dunia. Di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncak perkembangannya pada Daulah Abbasiyah. Metode berpikir filsafat Yunani telah ikut mempengaruhi pola pikir sebagian umat Islam terutama masalah tasauf. Di antara pola pikir yang dimaksud adalah mengenai Filsafat mistik Phythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup di alam samawi manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan dunia materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkotemplasi.
Filsafat Emanasi Plotinus yang menyebutkan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, atau sampai bersatu dengan Tuhan.
c. Unsur Hindu / Budha.
Ajaran-ajaran Hindu mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman. Dan dalam ajaran Budha dengan faham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
Teori-teori inilah yang mengatakan bahwa tasauf dalam Islam timbul dan muncul akibat pengaruh-pengaruh dari faham tersebut di atas. Apakah teori-teori ini benar atau tidak, diperlukan penelitian yang mendalam. Namun yang jelas, tanpa adanya pengaruh dari faham-faham tersebut, sufisme bisa muncul dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan al-Sunnah.
Prof. DR. Hamka dalam bukunya "Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad menyimpulkan bahwa tasauf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. bertumbuh dalam jiwa Pendiri Islam itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad, disauk airnya dari dalam al-Qur`an itu sendiri".
C. TUJUAN TASAUF
Tujuan pokok tasauf adalah untuk mencapai "ma`rifatullah" (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya. Dan hikmahnya adalah sampai kepada Allah, tersingkap hijab (dinding) yang membatasi dirinya dengan Allah. Adapun yang dimaksud dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma`rifatullah dalam pandangan tasauf adalah sebagai berikut:
1. Ma`rifatullah atau Ma`rifat billah
Ma`rifatullah adalah melihat Tuhan dengan matahati (`ain al-basirah) mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tetapi tidak dengan kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun lainnya. Istilah lain sebagai ganti ma`rifat adalah ru`yah, musyahadah dan liqa`. Ru`yat dapat dicapai sesudah kasyaf yaitu terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara hamba dengan rabb-nya. Ma`rifat tetap bisa dicapai oleh seseorang bila sudah menjalankan syari`at dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran maksiat.
Bagi para mutasawwifin, ma`rifat billah adalah tujuan utama dan merupakan kelezatan ayang paling tinggi menurut pengakuan al-Gazali di mana ia mengemukan sebagai berikut: "Kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan Ketuhanan dan melihat rahasia-rahasia hal ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan top dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk.
Dari penjelasan di atas dapatlah difahami bahwa:
a. Ma`rifat billah bisa dikasab dengan melalui beberpa tingkat atau tahapan
b. Ma`rifat billah dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran maksiat.
2. Insan kamil
Tujuan tasauf berikutnya adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil yaitu manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama.
Insan Kamil dalam pandangan para mutasawwifin pengertiannya beragam. Ibnu `Arabi, seorang ahli tasauf yang berfaham pantheisme atau wahdatul wujud, ia berpendapat: " manusia utama atau insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasiwahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya. Lebih lanjut Jalaluddin Rumi menyatakan: " insan kamil adalah seorang yang sadar tentang ke-aku-annya yang trasedent (faaiq) dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat ilahi. Insan kamil langsung berhubungan dengan Tuhan, tidak ada lagi Nabi atau malaikat yang mengatara padanya.
D. MAQAMAT DAN AHWAL
1. Maqamat
Secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Maqamat (kedudukan) adalah istilah kaum sufi yang menunjukkan arti nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (pencari kebenaran spiritual dalam praktek ibadah). Imam al-Qusyairi membicarakan maqamat yaitu adab yang dijalani dengan semacam tindakan dan pemaksaan diri. Dengan demikian, kedudukan setiap manusia adalah kedudukannya ketika melaksanakan hal itu dengan cara latihan. Adapun syaratnya adalah ia tidak naik dari satu kedudukan ke kedudukan lainnya, sebelum menyempurnakan kedudukan.
Tentang berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan. Di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta`aruf li Mazhab ahl al-Tasauf mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu`, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma`rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-Luma` menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara`, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal,dan al-ridha`.
Dari kutipan tersebut memperlihatkan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara`, al-faqr, al-sabr, al-tawakkal, dan al-ridha`
a. Al-Zuhud.
Secara harfiyah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Atau meninggalkan dunia untuk beribadah. Syaikh Abul Qasim al-Junaidi al-Baghdadi memberikan pengertian al-zuhud, yaitu "bersifat dermawan dari harta yang dimiliki sehingga tak mempunyai harta, serta tidak mempunyai sifat serakah". Sementara Masruq mengemukakan pandangannyan, bahwa zuhud adalah seseorang yang mempunyai sifat selalu tidak memiliki sesuatu kecuali karena kemurahan dari Allah.
Hati yang zuhud terhadap sesuatu adalah hati yang tidak menghendaki, tetapi ia tidak membenci dan tidak lari daripadanya, tidak menginginkan dan tidak menuntut. Zuhud yang terpuji menurut syara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat atau meningglkan segala sesuatu yang tidak diperlukan di akhirat. Sehingga membantunya meraih keindahan kehidupan akhirat.
Zuhud termasuk salah satu ajaran Agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
Di antara tokoh sufi yang menggeluti sifat ini, yaitu Sufyan al-Tsauri (W.135 H), Abu Hasyim (W. 150 H), Jabir Ibn Hasyim (W. 190 H), hasan Basri (W. 110 h), dan Rabiah al-Adawiyah.
b. Al-Taubah.
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan, taabatan, mataaban yang artinya kembali dan menyesal. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan diserti janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai melakukan amal kebaikan. Untuk mencapai taubat yang sebenarnya tidak cukup hanya satu kali saja. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubah yang sesungguhnya. Taubat yang sesungguhnya dalam faham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Allah, dan yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
Taubat itu ada tiga tingkatan, yaitu:
1) Taubat kembali dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan karena takut murka Allah.
2).Inabah, kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik karena memohon ridha Allah.
3).Taubat para Nabi dan Rasul, tidak menharapkan pahala dan tidak pula takut siksa, dan baginya sudah maksum.
c. Al-Wara`
Secara harfiyah al-wara`artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi al-wara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan,minuman, pakaian dan sebagainyayang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum akan kekerasan hati, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Allah. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
d. Al-Faqr.
Secara harfiyah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau lebih miskin dari orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir itu adalah tidak menerima lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalakan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tidak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta tetapi tidak menolak.
e. Sabar
Sabar yang dimaksudkan dalam ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Allah dengan jalan meninggalkan ucapan yang bisa membawa adanya keluh kesah dan keluh kesah itupun dibawa kedalam ibadat. Selanjutnya di kalangan para sufi pula diartikan sabar adalah sabar dalam menjalankan perintah Allah, dalam menjauhi segala laranngan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita.
f. Tawakkal
Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh kepada Allah. Harun Nasution mengemukakan, bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Tawakkal terdiri atas bermacam-macam jenis menurut tingkatannya dan penamaannya sesuai dengan derajat sehingga menjadi tawakkal, taslim, dan tafwidh. Tawakkal merupakan awal dari suatu kedudukan (maqam) yang bersifat rohani, al-taslim adalah perantaranya, sedangkan tafwidh adalah akhirnya.
g. Kerelaan (Ridha)
Menurut Syaikh Dzun Nun al-Misri, ridha adalah hati merasa senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Al-Haris al-Muhasibi mendefinisikan ridha sebagai, hati menerima keputusan hukum (taqdir). Jadi ridha pada intinya adalah seseorang yang rela menerima berbagai bala atau bencana dengan harapan dan kegembiraan.
Ridha adalah perstasi tertinggi yang telah dilalui dalam perjalanan sufi seseorang. Para syaikh sufi mengatakan, keredhaan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar. Maksudnya, barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut dengansambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi.
2. Ahwal
Al-Haal atau ahwal atau hal menurut kaum sufi adalah makna, nilai, atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis (dengan sendirinya), tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan. Keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadhu`), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam,bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi yaitu datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadhah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadhah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Mujahadah berarti berusaha bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allam. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan Muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah, dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir serta tidak memakan makanan yang berdarah.
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa jalan menuju ketempat tujuan yang harus dilalui oleh para sufi untuk memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniyah dengan Tuhan bukanlah jalan yang mudah. Tetapi harus melewati maqam demi maqam. Melewati satu maqam saja amat berat apalagi melewati beberapa maqam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasauf Antara Al-Gazali dan Ibnu Taimiyah, Terj. Muhammad Muchson Anasy (Jakarta: Khalifa, 2005).
M. Zain Abdullah, Tasauf dan Zikir, (Solo: Ramadhani, 1993).
Abuddin Nata, Akhlak Tasauf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Moh Saifulloh al-Azis S, Risalah Memahami Ilmu Tasauf,(Surabaya: Terbit Terang, 1998).
Abdul Halim Mahmud, Tasauf di Dunia Islam, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: ustaka Setia, 2002)
Lois Ma`luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977)..
Muhammad As-Sayyid al-Galind, Tasauf dalam Pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah, terj. Muhammad Abdullah al-Amiry (Jakarta: Cendekia, 2003).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar